Gaya Pernikahan Lama yang Terlihat Konyol Menurut Gen-Z
harmonikita.com – Pernikahan adalah momen sakral yang dirayakan di berbagai budaya, namun dengan pergeseran zaman, cara pandang terhadap pernikahan pun ikut berubah. Apa yang dianggap sebagai tradisi yang mulia oleh generasi sebelumnya, kini sering dipandang dengan kerutan dahi oleh Gen-Z. Dari aturan ketat yang mengekang hingga ekspektasi yang terkesan tidak realistis, banyak aspek pernikahan versi generasi lama yang dianggap konyol dan usang oleh kaum muda zaman sekarang.
Pada artikel ini, kita akan menggali beberapa tradisi pernikahan yang sering dipandang dengan skeptisisme oleh Gen-Z, mengapa mereka merasa demikian, dan bagaimana pernikahan versi modern kini mengusung perspektif yang lebih terbuka dan fleksibel.
Apa Itu Pernikahan bagi Gen-Z?
Pernikahan bagi generasi muda, terutama Gen-Z, sering kali dilihat sebagai keputusan pribadi yang lebih berbasis pada cinta, kompatibilitas, dan kesetaraan. Berbeda dengan generasi sebelumnya yang sering kali menekankan pernikahan sebagai kewajiban sosial atau sebagai sarana untuk memenuhi ekspektasi keluarga, Gen-Z lebih menempatkan pernikahan dalam konteks kebebasan individu dan kesetaraan dalam hubungan.
Namun, walaupun nilai-nilai ini telah berkembang, tidak bisa dipungkiri bahwa tradisi pernikahan lama masih berpengaruh. Itulah yang membuat banyak kebiasaan atau aturan yang dulunya dianggap wajar, kini terlihat konyol atau bahkan aneh bagi kaum muda.
1. Peran Gender yang Kaku dalam Pernikahan
Salah satu tradisi yang sering kali dipandang konyol oleh Gen-Z adalah peran gender yang begitu jelas dalam pernikahan. Misalnya, dalam banyak budaya, peran suami dianggap sebagai pencari nafkah utama, sementara istri bertanggung jawab di rumah. Meskipun tradisi ini masih hidup di beberapa tempat, Gen-Z lebih mengutamakan kemitraan yang setara, di mana kedua belah pihak bekerja sama untuk menciptakan keseimbangan dalam kehidupan rumah tangga.
Bagi Gen-Z, pernikahan bukanlah soal siapa yang lebih dominan atau siapa yang seharusnya “memimpin”. Mereka menganggap bahwa peran dalam rumah tangga harus fleksibel dan didasarkan pada keahlian masing-masing pasangan, bukan peran tradisional yang dibebankan pada gender tertentu.
2. Harapan untuk Menikah di Usia Muda
Di masa lalu, menikah di usia muda dianggap sebagai langkah yang wajar dalam kehidupan. Banyak orang tua dari generasi lama yang menuntut anak-anak mereka untuk menikah secepatnya, dengan alasan agar mereka dapat membangun keluarga dan kehidupan bersama sejak dini. Namun, Gen-Z memandang pernikahan dengan perspektif yang lebih longgar dan tidak terburu-buru. Banyak dari mereka yang lebih memilih untuk fokus pada pendidikan, karir, dan pengembangan diri sebelum memutuskan untuk menikah.
Pernikahan yang terlalu dini, bagi Gen-Z, sering kali dianggap sebagai langkah yang terburu-buru. Mereka lebih memilih untuk menjalin hubungan yang lebih matang, dengan kesiapan emosional dan finansial yang lebih baik. Hal ini sejalan dengan tren global yang menunjukkan bahwa banyak orang menunda pernikahan sampai mereka merasa lebih siap dan mapan secara pribadi.
3. Pernikahan yang Dibuat Terlalu Formal dan Berlebihan
Tradisi pernikahan yang melibatkan perayaan besar-besaran dengan serangkaian acara formal dan mewah sering kali dianggap konyol oleh Gen-Z. Pernikahan dengan ratusan tamu, pesta besar, gaun pengantin mahal, dan semua kemewahan lainnya mungkin tampak berlebihan dan tidak relevan bagi mereka yang lebih mengutamakan kesederhanaan dan kenyamanan.
Gen-Z cenderung lebih memilih pernikahan yang sederhana namun bermakna. Bagi mereka, pernikahan bukan tentang tampil glamor, melainkan tentang merayakan ikatan yang kuat antara dua orang yang saling mencintai. Dari konsep pernikahan intim hingga mengurangi biaya yang berlebihan, banyak pasangan muda memilih cara yang lebih praktis dan fokus pada pengalaman bersama.
4. Keputusan Pernikahan yang Didorong oleh Keluarga
Salah satu aspek pernikahan yang paling menonjol pada generasi sebelumnya adalah tekanan keluarga dalam memilih pasangan hidup. Pernikahan sering kali dianggap sebagai urusan keluarga besar, dan keputusan untuk menikah sering kali dipengaruhi oleh harapan orang tua atau masyarakat. Di banyak kasus, pernikahan dijalin untuk memenuhi ekspektasi sosial dan bukan karena cinta sejati.
Namun, Gen-Z lebih memilih untuk membuat keputusan pernikahan berdasarkan keinginan pribadi mereka. Mereka menginginkan pasangan yang dipilih dengan hati, bukan karena dorongan eksternal. Bagi generasi ini, pernikahan adalah perjalanan pribadi dan bukan sekadar formalitas yang harus disetujui oleh keluarga besar atau masyarakat.
5. Kewajiban Peran Istri yang Serba Mengurus Rumah Tangga
Bagi banyak wanita generasi lama, peran dalam pernikahan sering kali terbatas pada mengurus rumah tangga dan mengurus keluarga. Meskipun hal ini masih berlaku di beberapa tempat, Gen-Z melihatnya sebagai pembatasan yang tidak adil. Mereka beranggapan bahwa dalam sebuah pernikahan, kedua belah pihak harus memiliki tanggung jawab yang seimbang dalam mengurus rumah tangga, pekerjaan, dan peran keluarga.
Tradisi ini terlihat semakin konyol karena banyak pasangan Gen-Z yang saling berbagi tugas dan tidak melihat pekerjaan rumah sebagai beban bagi satu pihak saja. Menurut mereka, pernikahan adalah tentang berbagi beban hidup, bukan sekadar berbagi tanggung jawab domestik yang telah ditentukan oleh norma sosial.
6. Ide Pernikahan Sebagai Suatu Tujuan, Bukan Proses
Bagi banyak orang dari generasi lama, pernikahan sering kali dipandang sebagai pencapaian atau tujuan hidup yang harus dicapai pada suatu titik tertentu. Di sisi lain, Gen-Z lebih cenderung melihat pernikahan sebagai bagian dari perjalanan hidup yang lebih besar, bukan sekadar titik akhir yang harus dicapai. Mereka menganggap pernikahan sebagai perjalanan yang berkelanjutan, penuh pembelajaran dan pertumbuhan bersama pasangan, daripada sesuatu yang harus dicapai untuk memenuhi ekspektasi sosial.
Pernikahan bukan lagi hanya soal “harus” terjadi pada usia tertentu, melainkan lebih kepada apakah dua individu siap untuk saling berkembang dan mendukung satu sama lain dalam jangka panjang.
Menyongsong Masa Depan Pernikahan yang Lebih Fleksibel dan Terbuka
Pernikahan versi generasi lama memang tidak dapat disangkal memiliki nilai-nilai yang penting bagi sebagian orang. Namun, dalam dunia yang semakin maju dan berubah, banyak tradisi yang harus diperbaharui agar sesuai dengan perkembangan zaman. Gen-Z menunjukkan bahwa pernikahan tidak perlu terjebak dalam norma-norma lama yang ketinggalan zaman, melainkan bisa lebih fleksibel, setara, dan relevan dengan kebutuhan serta kenyamanan pasangan masa kini.
Dengan semakin terbukanya cara pandang terhadap pernikahan, mungkin akan ada lebih banyak pasangan muda yang merasa bebas untuk merayakan pernikahan sesuai dengan nilai-nilai mereka sendiri, tanpa tekanan dari tradisi yang sudah tidak sesuai lagi. Tentunya, pernikahan yang lebih inklusif dan tidak terbatas pada satu model pun akan membuka ruang bagi berbagai definisi cinta dan ikatan yang lebih beragam.