Gen Z & Quiet Quitting: Bukan Malas, Tapi...

Gen Z & Quiet Quitting: Bukan Malas, Tapi…

harmonikita.com – Fenomena quiet quitting atau keluar secara diam-diam dari pekerjaan tengah menjadi perbincangan hangat, terutama di kalangan Generasi Z. Istilah ini bukan berarti benar-benar berhenti bekerja, melainkan sebuah sikap di mana karyawan hanya melakukan tugas sesuai deskripsi pekerjaan, tanpa inisiatif untuk melampaui ekspektasi atau berkontribusi lebih. Pertanyaannya, mengapa fenomena ini begitu marak di kalangan Gen Z? Mari kita telaah lebih dalam.

Mencari Keseimbangan di Tengah Tuntutan Zaman

Generasi Z tumbuh di era digital dengan akses informasi tanpa batas. Mereka menyaksikan berbagai krisis ekonomi, sosial, dan lingkungan yang membentuk pandangan mereka tentang dunia kerja. Bagi mereka, pekerjaan bukanlah segalanya. Mereka mendambakan keseimbangan antara kehidupan profesional dan personal, atau yang sering disebut work-life balance. Mereka ingin memiliki waktu untuk diri sendiri, keluarga, hobi, dan pengembangan diri di luar pekerjaan.

Berbeda dengan generasi sebelumnya yang mungkin rela mengorbankan banyak hal demi karir, Gen Z lebih memprioritaskan kesehatan mental dan kebahagiaan pribadi. Mereka menyadari bahwa bekerja lembur terus-menerus atau selalu “available” di luar jam kerja dapat berdampak buruk bagi kesehatan fisik dan mental. Oleh karena itu, “quiet quitting” menjadi salah satu cara bagi mereka untuk menjaga batasan yang sehat antara pekerjaan dan kehidupan pribadi.

Ketika Ekspektasi Tak Sejalan dengan Realita

Salah satu pemicu utama “quiet quitting” di kalangan Gen Z adalah ketidaksesuaian antara ekspektasi dan realita di dunia kerja. Banyak dari mereka yang masuk ke dunia kerja dengan idealisme tinggi, ingin berkontribusi dan membuat perubahan. Namun, tidak jarang mereka menemukan lingkungan kerja yang tidak mendukung, kurang apresiasi, atau bahkan toxic.

Beberapa faktor yang seringkali mengecewakan Gen Z di tempat kerja antara lain:

  • Gaji yang tidak sepadan: Kenaikan biaya hidup dan inflasi membuat Gen Z merasa gaji yang mereka terima tidak sebanding dengan usaha dan kontribusi mereka.
  • Kurangnya peluang pengembangan diri: Gen Z haus akan pembelajaran dan pengembangan skill. Jika perusahaan tidak memberikan kesempatan untuk berkembang, mereka merasa stagnan dan tidak termotivasi.
  • Lingkungan kerja yang tidak sehat: Budaya kerja yang kompetitif secara berlebihan, kurangnya komunikasi yang baik, atau adanya perundungan (bullying) dapat menciptakan lingkungan kerja yang toxic dan mendorong karyawan untuk “quiet quitting”.
Baca Juga :  Wanita Toxic, Membongkar Taktik Manipulasi & Cara Keluar dari Jeratnya

Sebuah survei yang dilakukan oleh Jakpat pada Februari 2024 terhadap 1.262 responden Gen Z berusia 18-20 tahun menunjukkan bahwa sebagian besar dari mereka menginginkan work-life balance. Namun, ada juga sebagian kecil yang merasa sulit untuk sekadar mendapatkan pekerjaan, sehingga tuntutan akan keseimbangan tersebut terasa sulit dicapai. Hal ini menunjukkan adanya kompleksitas permasalahan yang dihadapi Gen Z di dunia kerja.

Bukan Sekadar Malas Bekerja

Penting untuk dipahami bahwa “quiet quitting” bukanlah sekadar manifestasi kemalasan atau kurangnya etos kerja di kalangan Gen Z. Fenomena ini lebih merupakan respons terhadap budaya kerja yang seringkali menuntut lebih dari yang seharusnya, tanpa memberikan imbal balik yang sepadan.

Baca Juga :  Journaling: Cara Ampuh Kelola Stres dan Tingkatkan Kreativitas!

Gen Z tidak menolak untuk bekerja keras, tetapi mereka ingin bekerja dengan tujuan yang jelas dan bermakna. Mereka ingin merasa dihargai dan diakui atas kontribusi mereka. Jika perusahaan tidak mampu memenuhi kebutuhan ini, “quiet quitting” bisa menjadi pilihan bagi mereka untuk menjaga kesehatan mental dan mencari peluang yang lebih baik.

Dampak dan Peluang di Balik Fenomena

Fenomena “quiet quitting” tentu memiliki dampak bagi dunia kerja. Bagi perusahaan, hal ini bisa berdampak pada penurunan produktivitas dan inovasi. Namun, di sisi lain, fenomena ini juga dapat menjadi momentum bagi perusahaan untuk berbenah diri dan menciptakan lingkungan kerja yang lebih baik.

Beberapa hal yang dapat dilakukan perusahaan untuk mengatasi fenomena “quiet quitting” antara lain:

  • Meningkatkan komunikasi dan transparansi: Perusahaan perlu membuka dialog dengan karyawan, mendengarkan aspirasi mereka, dan memberikan informasi yang jelas mengenai ekspektasi dan peluang karir.
  • Memberikan apresiasi dan pengakuan: Memberikan apresiasi atas kinerja karyawan, baik secara verbal maupun dalam bentuk penghargaan atau promosi, dapat meningkatkan motivasi dan loyalitas.
  • Menciptakan lingkungan kerja yang inklusif dan suportif: Perusahaan perlu memastikan bahwa semua karyawan merasa dihargai dan didukung, tanpa memandang usia, latar belakang, atau identitas lainnya.
  • Menawarkan fleksibilitas dan work-life balance: Memberikan opsi kerja fleksibel, seperti jam kerja yang fleksibel atau kerja jarak jauh, dapat membantu karyawan mencapai keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi.
Baca Juga :  Memiliki Standar Tinggi Dalam Hidup Bukan Berarti Merendahkan Orang Lain

Menuju Dunia Kerja yang Lebih Baik

Fenomena “quiet quitting” merupakan sebuah sinyal bagi dunia kerja untuk berubah. Gen Z menginginkan dunia kerja yang lebih manusiawi, di mana keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi dihargai. Mereka ingin bekerja dengan tujuan yang jelas dan bermakna, di lingkungan yang suportif dan inklusif.

Dengan memahami akar permasalahan dan mengambil langkah-langkah yang tepat, perusahaan dapat menciptakan lingkungan kerja yang lebih baik, tidak hanya bagi Gen Z, tetapi juga bagi semua generasi. Pada akhirnya, “quiet quitting” bisa menjadi katalisator untuk perubahan positif di dunia kerja, menuju masa depan yang lebih baik bagi semua.

Sebagai penutup, penting untuk diingat bahwa setiap individu memiliki preferensi dan motivasi yang berbeda dalam bekerja. Tidak semua Gen Z melakukan “quiet quitting,” dan tidak semua yang melakukan “quiet quitting” memiliki alasan yang sama. Penting untuk menghindari generalisasi dan tetap membuka dialog untuk memahami perspektif masing-masing. Dengan begitu, kita dapat membangun dunia kerja yang lebih baik dan berkelanjutan.

Similar Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *