Kenapa Gen Z Menolak 10 Aturan Kerja Usang ini?
harmonikita.com – Generasi Z, yang tumbuh besar di era digital yang serba cepat dan fleksibel, kini memasuki dunia kerja dengan membawa harapan dan ekspektasi yang berbeda. Mereka mempertanyakan dan bahkan menolak banyak aturan kerja tradisional yang dianggap tidak relevan dengan realitas dan potensi yang mereka miliki. Mengapa fenomena ini terjadi? Mari kita telaah 10 kebijakan kerja lama yang seringkali membuat Gen Z merasa tidak nyaman dan kurang termotivasi di lingkungan kerja modern.
1. Jam Kerja 9-ke-5 yang Kaku
Di era di mana teknologi memungkinkan pekerjaan diselesaikan kapan saja dan dari mana saja, gagasan tentang jam kerja tetap dari pukul 9 pagi hingga 5 sore terasa sangat membatasi bagi Gen Z. Mereka tumbuh dengan pemahaman bahwa produktivitas tidak selalu linier dengan waktu yang dihabiskan di kantor. Fleksibilitas waktu kerja, yang memungkinkan mereka mengatur jadwal sesuai ritme dan tanggung jawab pribadi, jauh lebih menarik. Survei terbaru menunjukkan bahwa lebih dari 70% Gen Z menganggap fleksibilitas jam kerja sebagai faktor penting dalam memilih pekerjaan. Mereka menghargai otonomi dalam mengatur waktu mereka untuk mencapai hasil yang optimal.
2. Kebijakan Absensi yang Terlalu Ketat
Generasi Z melihat pekerjaan sebagai hasil dan kontribusi, bukan sekadar kehadiran fisik. Kebijakan absensi yang terlalu ketat, yang menghukum mereka karena urusan pribadi atau kebutuhan mendesak lainnya, dianggap tidak adil dan tidak mempercayai profesionalisme mereka. Mereka lebih menghargai lingkungan kerja yang memahami bahwa kehidupan di luar pekerjaan juga penting dan memberikan ruang untuk fleksibilitas dalam hal kehadiran, asalkan pekerjaan tetap terselesaikan dengan baik.
3. Struktur Hierarki yang Berlapis-lapis dan Birokrasi yang Lambat
Tumbuh di dunia yang datar dan terhubung, Gen Z merasa frustrasi dengan struktur hierarki perusahaan yang berlapis-lapis dan proses birokrasi yang lambat. Mereka menghargai komunikasi yang terbuka, akses langsung ke informasi, dan pengambilan keputusan yang cepat. Struktur yang kaku seringkali dianggap menghambat inovasi dan kolaborasi, nilai-nilai yang sangat dijunjung tinggi oleh generasi ini. Mereka lebih tertarik pada organisasi yang memberdayakan karyawan di berbagai tingkatan dan mendorong ide-ide dari semua pihak.
4. Kurangnya Peluang Pengembangan Diri yang Jelas
Generasi Z adalah pembelajar seumur hidup yang haus akan pertumbuhan dan pengembangan diri. Mereka mencari pekerjaan yang tidak hanya menawarkan gaji, tetapi juga kesempatan untuk belajar keterampilan baru, mengikuti pelatihan, dan mengembangkan karir mereka. Kebijakan perusahaan yang kurang fokus pada pengembangan karyawan, atau jalur karir yang tidak jelas, dapat membuat mereka merasa stagnan dan mencari peluang lain yang lebih menjanjikan pertumbuhan. Data menunjukkan bahwa Gen Z menempatkan pengembangan profesional sebagai salah satu dari tiga prioritas utama dalam karir mereka.
5. Komunikasi yang Tidak Transparan dan Kurang Terbuka
Keterbukaan dan transparansi adalah kunci dalam membangun kepercayaan dengan Gen Z. Mereka mengharapkan komunikasi yang jujur dan terbuka dari manajemen mengenai tujuan perusahaan, kinerja, dan perubahan kebijakan. Kurangnya transparansi dapat menimbulkan ketidakpercayaan dan membuat mereka merasa tidak dihargai atau tidak dianggap sebagai bagian penting dari organisasi. Mereka lebih memilih lingkungan kerja di mana informasi dibagikan secara bebas dan ada ruang untuk dialog yang konstruktif.
6. Kurangnya Pengakuan dan Apresiasi yang Bermakna
Generasi Z tumbuh di lingkungan di mana validasi dan pengakuan seringkali diberikan secara instan melalui media sosial. Di tempat kerja, mereka juga mengharapkan pengakuan atas kerja keras dan kontribusi mereka. Kebijakan perusahaan yang kurang memberikan apresiasi yang tulus dan bermakna dapat membuat mereka merasa tidak dihargai dan kurang termotivasi untuk memberikan yang terbaik. Pengakuan yang personal dan tepat waktu, baik secara publik maupun pribadi, sangat penting bagi mereka.