Bukan Malas, Milenial dan Gen Z Cuma Ogah Dibodohi!
harmonikita.com – Generasi milenial dan Gen Z seringkali dicap sebagai generasi pemalas, kurang gigih, atau bahkan manja. Namun, benarkah demikian? Mari kita telaah lebih dalam. Alih-alih malas, bisa jadi mereka hanya ogah dibodohi oleh sistem yang terasa tidak adil atau tidak relevan dengan realita hidup mereka saat ini.
Menelisik Akar “Kemalasan” Generasi Muda
Label “malas” yang kerap disematkan pada generasi muda ini seringkali muncul dari perbandingan dengan generasi sebelumnya. Dulu, loyalitas pada satu perusahaan selama puluhan tahun dianggap sebagai sebuah kebanggaan. Jam kerja yang panjang dan pengorbanan kehidupan pribadi demi karir seolah menjadi tolok ukur kesuksesan. Namun, paradigma ini mulai bergeser, terutama di kalangan milenial dan Gen Z.
Mereka tumbuh di era informasi yang serba cepat dan transparan. Mereka melihat dengan jelas ketidakadilan, kesenjangan ekonomi, dan berbagai isu sosial yang seringkali luput dari perhatian generasi sebelumnya. Mereka menyaksikan bagaimana kerja keras tidak selalu berbanding lurus dengan kesejahteraan, dan bagaimana sistem yang ada terkadang justru mengeksploitasi alih-alih memberdayakan.
Lebih Cerdas Memilih dan Memprioritaskan
Alih-alih malas, generasi muda ini justru lebih cerdas dalam memilih dan memprioritaskan. Mereka tidak lagi terpaku pada dogma lama bahwa “yang penting bekerja, urusan gaji belakangan”. Mereka mempertimbangkan nilai, tujuan, dan dampak dari pekerjaan yang mereka lakukan. Mereka mencari makna dan relevansi dalam setiap kontribusi yang mereka berikan.
Sebuah studi terbaru menunjukkan bahwa 76% milenial dan Gen Z menganggap bahwa tujuan perusahaan memiliki pengaruh besar dalam keputusan mereka untuk bekerja di perusahaan tersebut. Mereka tidak hanya mencari gaji, tetapi juga ingin bekerja untuk organisasi yang memiliki nilai-nilai yang sejalan dengan keyakinan mereka dan memberikan dampak positif bagi masyarakat.
Menuntut Transparansi dan Keadilan
Generasi muda ini juga lebih vokal dalam menuntut transparansi dan keadilan. Mereka tidak ragu untuk mempertanyakan kebijakan perusahaan yang tidak adil, jam kerja yang tidak masuk akal, atau kurangnya apresiasi terhadap kontribusi mereka. Mereka memiliki keberanian untuk mencari lingkungan kerja yang lebih sehat dan suportif, bahkan jika itu berarti harus berpindah-pindah pekerjaan.
Fenomena quiet quitting atau bekerja sesuai deskripsi pekerjaan tanpa ekspektasi lebih, yang sempat viral beberapa waktu lalu, bisa jadi merupakan salah satu manifestasi dari sikap “ogah dibodohi” ini. Mereka menolak untuk dieksploitasi dan memilih untuk menjaga batasan antara kehidupan profesional dan pribadi mereka.
Adaptasi dan Inovasi Sebagai Kunci
Di sisi lain, generasi milenial dan Gen Z juga dikenal sebagai generasi yang adaptif dan inovatif. Mereka tumbuh dengan teknologi dan internet, sehingga memiliki kemampuan yang lebih baik dalam memanfaatkan alat-alat digital untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas. Mereka juga lebih terbuka terhadap ide-ide baru dan tidak takut untuk mengambil risiko dalam mencapai tujuan mereka.
Banyak startup sukses didirikan oleh anak-anak muda yang berani keluar dari jalur konvensional dan menciptakan solusi-solusi inovatif untuk berbagai masalah. Mereka tidak terpaku pada cara kerja lama yang dianggap mapan, tetapi justru mencari cara yang lebih efektif dan efisien.
Bukan Sekadar Tren, Tapi Perubahan Paradigma
Sikap “ogah dibodohi” ini bukanlah sekadar tren sesaat, melainkan sebuah perubahan paradigma dalam cara generasi muda memandang pekerjaan dan kehidupan. Mereka tidak lagi melihat pekerjaan hanya sebagai sumber penghasilan semata, tetapi juga sebagai bagian dari identitas dan kontribusi mereka terhadap dunia.
Mereka menginginkan pekerjaan yang memberikan makna, fleksibilitas, dan kesempatan untuk berkembang. Mereka menolak sistem yang terasa tidak adil, tidak transparan, dan tidak menghargai potensi mereka. Mereka adalah generasi yang sadar akan nilai diri mereka dan tidak takut untuk memperjuangkannya.