Gen Z Dicap Malas? Ternyata Ini Alasan Mereka Ogah Lembur

Gen Z Dicap Malas? Ternyata Ini Alasan Mereka Ogah Lembur (www.freepik.com)

harmonikita.com – Belakangan ini, obrolan tentang etos kerja Gen Z (mereka yang lahir sekitar pertengahan 90-an hingga awal 2010-an) seringkali diwarnai nada sumbang sehingga sering dicap malas. Salah satu stereotip yang paling sering menempel adalah bahwa Gen Z ogah lembur dan dianggap kurang punya grit atau daya juang dibanding generasi sebelumnya. Label “malas” pun tak jarang disematkan. Tapi, benarkah sesederhana itu? Atau jangan-jangan, ada alasan lebih dalam yang sering luput dari pandangan kita? Mari kita kupas bareng-bareng.

Persepsi ini mungkin muncul dari perbedaan nyata dalam cara Gen Z memandang pekerjaan dan kehidupan secara keseluruhan. Mereka tumbuh di era digital yang serba cepat, informasi melimpah, dan kesadaran akan isu sosial serta kesehatan mental yang jauh lebih tinggi. Pengalaman hidup ini membentuk nilai-nilai dan prioritas yang berbeda dibandingkan, misalnya, generasi baby boomer atau bahkan milenial awal yang mungkin lebih terbiasa dengan budaya kerja ‘kantoran’ yang kaku dan jam kerja panjang.

Stereotip vs. Realita: Mengapa Gen Z Terlihat Berbeda?

Label “ogah lembur” atau “malas” ini seringkali datang dari perbandingan dengan standar kerja yang sudah ada dan dianggap ‘normal’ oleh generasi sebelumnya. Dulu, lembur seringkali dianggap sebagai tanda loyalitas, dedikasi, atau ambisi. Semakin sering lembur, semakin terlihat ‘niat’ seseorang dalam bekerja.

Namun, cara pandang ini ternyata tidak sepenuhnya relevan atau bahkan sehat bagi Gen Z sehingga dicap malas. Bagi mereka, bekerja bukan lagi satu-satunya pusat kehidupan. Mereka melihat pekerjaan sebagai bagian dari perjalanan hidup, bukan keseluruhan identitas mereka. Tentu saja, ini bukan berarti mereka tidak punya ambisi. Justru ambisi mereka mungkin terwujud dalam bentuk yang berbeda.

Perbedaan ini bisa jadi sumber gesekan atau kesalahpahaman di tempat kerja. Manajer atau rekan kerja dari generasi lebih tua mungkin melihat Gen Z menolak lembur sebagai kurangnya komitmen. Padahal, dari sudut pandang Gen Z, mereka sedang berkomitmen pada hal lain yang tak kalah penting: diri mereka sendiri, kesehatan mental mereka, dan kehidupan di luar pekerjaan.

Bukan Malas, Tapi Prioritas Bergeser: Apa yang Sesungguhnya Dicari Gen Z?

Jadi, kalau bukan malas, apa dong alasannya Gen Z terlihat enggan menghabiskan waktu tambahan di kantor atau di depan laptop melebihi jam kerja standar? Jawabannya terletak pada pergeseran fundamental dalam prioritas hidup dan kerja mereka.

Memprioritaskan Keseimbangan Kerja dan Kehidupan (Work-Life Balance) yang Sejati

Ini mungkin alasan paling utama. Bagi Gen Z, konsep work-life balance bukanlah sekadar slogan kosong, melainkan kebutuhan mendasar. Mereka menyaksikan generasi sebelumnya yang mungkin ‘hidup untuk bekerja’ dan melihat dampaknya: kelelahan, stres, hubungan yang renggang, hingga masalah kesehatan. Mereka tidak ingin mengulangi siklus itu.

  • Waktu untuk Diri Sendiri: Gen Z sadar pentingnya waktu untuk istirahat, hobi, me time, dan aktivitas yang mengisi ulang energi. Lembur yang berlebihan menggerus waktu berharga ini.
  • Hubungan Sosial: Menghabiskan waktu dengan keluarga, teman, dan pasangan adalah hal yang vital. Pandemi COVID-19 juga memperkuat kesadaran ini, di mana banyak orang terhubung secara virtual dan menyadari pentingnya interaksi tatap muka (saat memungkinkan) atau sekadar waktu berkualitas dengan orang terkasih. Lembur bisa menghalangi ini.
  • Jejak Digital dan Perbandingan: Tumbuh dengan media sosial membuat Gen Z terpapar pada gambaran kehidupan orang lain yang beragam. Mereka melihat pentingnya pengalaman, traveling, pengembangan diri di luar pekerjaan, yang semuanya membutuhkan waktu luang. Lembur membatasi kemampuan mereka untuk ‘mengejar’ pengalaman-pengalaman ini.

Kesadaran Tinggi akan Kesehatan Mental dan Pencegahan Burnout

Ini adalah poin krusial lain yang membedakan Gen Z. Dibanding generasi sebelumnya, mereka jauh lebih terbuka dan sadar akan pentingnya kesehatan mental. Mereka tidak malu membicarakan stres, kecemasan, atau depresi. Mereka juga tahu bahwa jam kerja yang terlalu panjang dan tekanan konstan adalah resep sempurna menuju burnout.

  • Mengenali Gejala Burnout: Gen Z cenderung lebih peka terhadap tanda-tanda kelelahan fisik dan mental. Mereka tahu kapan mereka perlu istirahat sebelum benar-benar kolaps.
  • Prioritas Kesejahteraan: Bagi mereka, menjaga kesehatan mental sama pentingnya—jika tidak lebih penting—daripada mendapatkan promosi atau gaji tinggi dengan mengorbankan diri. Menolak lembur bisa jadi salah satu cara mereka menetapkan batasan untuk melindungi diri dari stres berlebihan. Sebuah survei dari American Psychological Association (APA) beberapa tahun lalu bahkan menunjukkan Gen Z memiliki tingkat stres tertinggi dibanding generasi lainnya. Data seperti ini mendukung mengapa mereka sangat berhati-hati dengan beban kerja.
  • Terapi dan Dukungan: Mencari bantuan profesional atau berbicara tentang masalah mental bukanlah hal tabu bagi mereka, berbeda dengan pandangan di masa lalu. Lingkungan kerja yang menuntut jam kerja gila-gilaan seringkali dianggap tidak mendukung kesejahteraan ini.

Mencari Tujuan (Purpose) dan Makna dalam Pekerjaan

Gen Z tidak hanya bekerja demi gaji. Tentu, uang itu penting, apalagi dengan biaya hidup yang terus meningkat. Tapi, mereka juga sangat peduli apakah pekerjaan mereka memiliki dampak positif, sejalan dengan nilai-nilai pribadi mereka, dan memberikan rasa purpose.

  • Nilai-nilai Perusahaan: Mereka cenderung memilih perusahaan yang nilai-nilainya selaras dengan mereka, misalnya soal keberlanjutan, keberagaman, atau tanggung jawab sosial. Lembur di pekerjaan yang dirasa tidak bermakna atau tidak sesuai nilai akan terasa seperti membuang waktu berharga.
  • Kontribusi yang Terlihat: Gen Z ingin merasa kontribusi mereka dihargai dan memiliki arti. Jika lembur tidak menghasilkan dampak yang signifikan atau hanya karena ‘tradisi’, mereka akan mempertanyakannya. Mereka lebih suka bekerja efisien dan produktif dalam jam kerja normal daripada sekadar memperpanjang waktu di kantor tanpa hasil jelas.

Menginginkan Fleksibilitas dan Otonomi

Tumbuh di era teknologi memungkinkan Gen Z melihat potensi cara kerja yang lebih fleksibel. Model kerja 9-to-5 yang kaku dan harus selalu di kantor terasa kuno bagi banyak dari mereka.

  • Kerja Hybrid/Remote: Pengalaman pandemi membuktikan bahwa kerja bisa dilakukan dari mana saja bagi banyak profesi. Gen Z menginginkan opsi ini karena memberikan mereka kebebasan untuk mengatur waktu dan lokasi kerja yang paling efektif. Lembur seringkali diidentikkan dengan ‘terjebak’ di satu tempat.
  • Fokus pada Hasil, Bukan Jam: Mereka lebih suka diukur berdasarkan hasil atau output, bukan berapa lama mereka duduk di depan layar. Jika pekerjaan bisa selesai dalam jam kerja normal dengan hasil memuaskan, mengapa harus menambah jam hanya demi terlihat ‘sibuk’?

Realitas Ekonomi: Gaji dan Pengeluaran yang Tidak Sebanding

Ini mungkin terdengar kontradiktif, tapi kenyataannya, meskipun Gen Z memprioritaskan hal lain selain uang, realitas ekonomi tetap berperan dalam keputusan mereka untuk lembur. Dengan biaya hidup yang tinggi, harga properti yang selangit, dan mungkin beban utang pendidikan, banyak Gen Z merasa gaji standar mereka pas-pasan.

  • Bayaran Lembur yang Adil: Seringkali, bayaran untuk jam lembur dirasa tidak sepadan dengan waktu dan energi yang dikeluarkan. Jika perhitungan bayaran lembur tidak menarik, mereka lebih memilih menggunakan waktu luang untuk mencari side hustle, mengembangkan skill, atau sekadar beristirahat untuk menjaga produktivitas keesokan harinya di jam kerja normal.
  • Gig Economy dan Peluang Lain: Gen Z lebih terbuka pada model gig economy atau kerja lepas. Waktu luang yang didapat karena tidak lembur bisa mereka gunakan untuk mengambil proyek lepas yang mungkin menawarkan bayaran per jam lebih tinggi atau memberikan pengalaman baru.

Perubahan Paradigma dalam Produktivitas

Pandangan tradisional seringkali menyamakan produktivitas dengan jumlah jam kerja. Semakin lama di kantor, dianggap semakin produktif. Gen Z menantang pandangan ini. Bagi mereka, produktivitas lebih tentang efisiensi, fokus, dan menghasilkan pekerjaan berkualitas dalam waktu yang ditentukan.

Mereka tumbuh dengan perangkat digital yang memungkinkan kerja lebih cepat dan cerdas. Mereka terbiasa mencari cara paling efisien untuk menyelesaikan tugas. Oleh karena itu, jika mereka bisa menyelesaikan pekerjaan dalam 8 jam, menghabiskan 2-3 jam tambahan hanya untuk memenuhi ekspektasi ‘lembur’ terasa tidak logis dan tidak efisien. Mereka melihatnya sebagai budaya kerja yang sudah ketinggalan zaman.

Bukan Berarti Tidak Mau Bekerja Keras, Tapi Bekerja Cerdas

Penting untuk ditekankan, “ogah lembur” tidak sama dengan “ogah bekerja keras”. Gen Z bersedia bekerja keras, bahkan sangat keras, untuk proyek atau tujuan yang mereka yakini. Mereka bisa sangat fokus dan berdedikasi ketika mereka merasa terhubung dengan pekerjaan itu dan melihat nilainya.

Perbedaannya adalah, mereka cenderung menetapkan batasan yang lebih jelas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Mereka percaya bahwa istirahat dan kehidupan di luar pekerjaan justru meningkatkan produktivitas dan kreativitas mereka saat berada di kantor.

Mengapa Pendekatan Empati itu Penting

Alih-alih langsung melabeli Gen Z sebagai malas, mencoba memahami dari sudut pandang mereka akan jauh lebih bermanfaat. Mereka bukan menolak bekerja, tapi menolak model kerja yang menurut mereka tidak sehat dan tidak sesuai dengan prioritas hidup mereka yang berkembang.

Mereka adalah generasi yang tumbuh dengan menyaksikan ketidakpastian ekonomi, perubahan iklim, pandemi, dan isu sosial lainnya. Pengalaman ini membentuk mereka menjadi lebih pragmatis dalam memandang pekerjaan dan lebih menghargai hal-hal yang sering terabaikan di tengah hiruk pikuk tuntutan profesional, seperti kesehatan, kebahagiaan, dan waktu berkualitas bersama orang terkasih.

Menciptakan Lingkungan Kerja yang Menarik Bagi Gen Z

Bagi perusahaan dan para manajer, memahami alasan di balik keengganan Gen Z untuk lembur adalah kunci untuk menciptakan lingkungan kerja yang harmonis dan produktif. Memaksa mereka masuk ke dalam cetakan budaya kerja lama hanya akan menyebabkan frustrasi, turnover tinggi, dan pada akhirnya, kerugian bagi perusahaan.

Beberapa cara untuk menjembatani perbedaan ini antara lain:

  • Fokus pada Hasil, Bukan Jam: Berhenti mengukur kinerja hanya dari berapa jam karyawan berada di kantor. Fokus pada output, kualitas kerja, dan pencapaian tujuan.
  • Tawarkan Fleksibilitas: Berikan opsi kerja hybrid, remote, atau jam kerja yang lebih fleksibel jika memungkinkan. Ini menunjukkan kepercayaan dan penghargaan terhadap kemampuan mereka mengatur waktu sendiri.
  • Prioritaskan Kesehatan Mental: Ciptakan budaya kerja yang mendukung kesehatan mental. Hindari memberikan beban kerja yang tidak realistis secara konsisten dan dorong karyawan untuk mengambil cuti atau istirahat saat dibutuhkan.
  • Komunikasi Terbuka: Adakan diskusi terbuka tentang ekspektasi kerja, termasuk soal lembur. Jelaskan mengapa lembur terkadang diperlukan (misalnya, saat deadline kritis), dan pastikan itu bukan menjadi kebiasaan harian.
  • Berikan Makna: Bantu Gen Z melihat bagaimana pekerjaan mereka berkontribusi pada gambaran yang lebih besar. Berikan feedback yang konstruktif dan hargai kontribusi mereka.
  • Bayaran Lembur yang Kompetitif: Jika lembur memang harus dilakukan, pastikan kompensasinya sepadan dan dihitung sesuai aturan.

Saatnya Beradaptasi

Pada akhirnya, isu Gen Z ogah lembur bukanlah tentang generasi yang malas, melainkan tentang generasi yang menuntut model kerja yang lebih sehat, seimbang, dan bermakna. Mereka memaksa dunia kerja untuk berevolusi dan beradaptasi dengan realitas serta prioritas zaman sekarang.

Alih-alih melabeli dan mengeluh, mungkin saatnya kita semua, dari berbagai generasi, untuk saling belajar. Gen Z bisa belajar tentang pentingnya dedikasi dan komitmen dalam situasi tertentu, sementara generasi sebelumnya bisa belajar dari Gen Z tentang pentingnya menjaga keseimbangan hidup, menghargai kesehatan mental, dan bekerja lebih cerdas, bukan hanya lebih lama. Dunia kerja yang bisa mengakomodasi kebutuhan dan prioritas beragam generasi adalah dunia kerja yang paling siap menghadapi masa depan. Jadi, yuk, mari kita pahami, bukan menghakimi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *