Cinta Sejati Itu Nyata, Kalau Kamu Tidak Ada
harmonikita.com – Cinta sejati, kata ini sering kita dengar, diucapkan dalam janji, ditulis dalam puisi, atau diidamkan dalam mimpi, tapi nyata adanya. Tapi, pernahkah terpikir, benarkah cinta sejati itu nyata kalau kamu gak ada? Sebuah kalimat yang mungkin terdengar kontradiktif, namun menyimpan kebenaran mendalam tentang cara kita sering kali memahami—atau justru gagal memahami—nilai kehadiran seseorang yang kita sayangi sampai mereka tidak lagi ada di sisi kita.
Kita hidup dalam hiruk pikuk keseharian. Bertemu orang yang sama, menjalani rutinitas yang melibatkan mereka, sering kali membuat kehadiran mereka terasa seperti bagian dari furnitur di rumah: selalu ada, di tempatnya, dan kita lupa betapa pentingnya mereka sampai tiba-tiba furnitur itu dipindahkan atau hilang. Begitulah kadang kita memperlakukan orang yang paling kita cintai. Keberadaan mereka menjadi begitu otomatis, begitu pasti, sehingga kita lupa untuk secara aktif merasakan dan menghargai betapa berartinya mereka.
Ini bukan tentang menyalahkan siapa pun, ini tentang refleksi jujur atas kecenderungan manusia. Kita terbiasa dengan kenyamanan, terbuai oleh rasa aman karena tahu orang itu ada di sana, siap sedia. Senyum mereka, tawa mereka, kebiasaan kecil mereka, bahkan mungkin hal-hal kecil yang kadang membuat jengkel, semuanya menjadi bagian dari lanskap hidup kita yang stabil. Namun, dalam stabilitas itu, sering kali kita kehilangan kepekaan untuk melihat betapa istimewanya lanskap tersebut, dan betapa besarnya peran seseorang di dalamnya.
Saat Kehadiran Menjadi Rutinitas: Jebakan Zona Nyaman
Hubungan, seindah apapun, bisa tergelincir ke dalam rutinitas. Pagi bertemu, siang beraktivitas, sore bercerita (atau mungkin hanya lewat pesan singkat), malam kembali bersama. Kehadiran fisik ada, interaksi ada, tapi apakah kehadiran hati juga selalu ada? Kadang, kita hadir secara fisik tapi pikiran melayang ke pekerjaan, media sosial, atau daftar tugas lainnya. Pasangan atau orang yang kita cintai ada di dekat kita, tapi perhatian kita tidak sepenuhnya untuk mereka.
Zona nyaman ini, meski terasa aman, bisa menjadi jebakan halus. Kita berhenti berusaha untuk mengesankan, berhenti berusaha untuk terhubung secara mendalam, berhenti untuk secara sadar menunjukkan apresiasi. Mengapa? Karena kita berasumsi mereka tahu kita mencintai mereka. Kita berasumsi kehadiran kita sudah cukup bukti. Kita berasumsi bahwa karena mereka selalu ada, mereka akan selalu ada. Asumsi inilah yang membuat kita lalai menghargai detail-detail kecil yang sebenarnya membangun fondasi cinta sejati yang kokoh. Obrolan ringan yang tulus, mendengarkan cerita mereka tanpa interupsi, memberikan pijatan saat mereka lelah, atau sekadar menatap mata mereka dan tersenyum—hal-hal sederhana ini perlahan tergerus oleh “kesibukan” atau rasa sudah memiliki.
Kita lupa bahwa cinta itu seperti tanaman; ia butuh disiram, diberi pupuk, dan dirawat agar terus tumbuh subur. Kehadiran saja tidak cukup. Kualitas interaksi, kedalaman percakapan, dan kesadaran untuk saling menghargai itulah yang membuatnya tetap hidup dan terasa nyata setiap saat. Ketika kehadiran hanya menjadi rutinitas tanpa kehadiran penuh, maka makna cinta itu sendiri bisa terasa hambar, bahkan di tengah kebersamaan.
Ketika Ruang Kosong Itu Berbicara: Suara Rindu dan Realisasi
Nah, di sinilah kalimat “cinta sejati itu nyata kalau kamu gak ada” mulai terasa kebenarannya. Ketika orang yang kita cintai tiba-tiba tidak ada di sisi kita, entah karena perjalanan jauh, tugas di luar kota, atau bahkan perpisahan yang lebih permanen, ruang yang tadinya terisi penuh mendadak terasa kosong. Kekosongan ini bukan hanya fisik, tapi juga emosional.
Saat itulah rindu datang melanda. Dan rindu ini bukan sekadar perasaan kangen biasa karena tidak bertemu seharian. Ini adalah rindu yang menusuk, yang tiba-tiba membuat kita menyadari betapa besar peran mereka dalam setiap aspek kehidupan kita. Kita merindukan kebiasaan-kebiasaan mereka yang dulu mungkin terasa mengganggu. Kita merindukan suara mereka di pagi hari, cara mereka tertawa, aroma parfum mereka, bahkan cara mereka mendengkur saat tidur. Detail-detail kecil yang luput dari perhatian saat mereka ada, kini justru menjadi pemicu kerinduan yang paling dalam.
Ketiadaan mereka memaksa kita untuk berhenti sejenak dari rutinitas dan benar-benar merasakan dampak dari kepergian mereka. Kita menyadari betapa mereka memudahkan hidup kita, betapa mereka menjadi tempat bersandar, betapa mereka mengisi kekosongan emosional yang bahkan kita tidak sadari sebelumnya. Saat mereka ada, mungkin kita tidak pernah berpikir, “Oh, betapa beruntungnya aku dia selalu menyiapkan sarapan,” atau “Aku sangat menghargai dia selalu mengingatkan aku untuk istirahat.” Tapi saat mereka gak ada, saat sarapan itu tidak ada, saat tidak ada yang mengingatkan, barulah kita menyadari betapa besarnya kontribusi mereka, betapa berartinya perhatian kecil itu.
Ruang yang kosong itu berbicara dengan lantang. Ia memberitahu kita tentang kebiasaan yang harus diubah, tentang rencana yang mendadak terasa hampa, tentang lelucon yang tak punya pendengar setianya lagi. Kekosongan itu adalah cermin yang memantulkan kembali betapa terintegrasinya orang tersebut dalam hidup kita. Realisasi ini bisa datang dalam bentuk rasa hampa yang perih, penyesalan karena tidak lebih menghargai, atau kesadaran mendalam akan betapa besar cinta yang ternyata kita miliki untuk mereka, yang mungkin selama ini terpendam di bawah lapisan rutinitas dan kebiasaan.