Perceraian Orang Tua di Usia Senja, Luka Buat Anak Dewasa
harmonikita.com – Siapa sangka, fenomena perceraian orang tua saat tua atau yang sering disebut “grey divorce” atau “golden age divorce” ini makin marak terjadi. Mungkin di kepala kita, perceraian identik dengan pasangan muda yang baru merintis rumah tangga atau sedang dalam masa sulit membesarkan anak kecil. Tapi nyatanya, banyak pasangan yang sudah puluhan tahun menikah, anak-anak sudah besar dan mandiri, bahkan mungkin sudah punya cucu, justru memutuskan untuk berpisah. Dan tahukah kamu? Luka yang ditimbulkan dari perceraian di usia senja ini, seringkali justru paling dalam dirasakan oleh mereka yang sudah dewasa: anak-anaknya.
Kedengarannya ironis, ya? Anak-anak sudah ‘lepas’, sudah punya kehidupan sendiri, kenapa masih bisa begitu terpukul? Artikel ini akan menyelami lebih dalam mengapa dampak perceraian orang tua pada anak dewasa seringkali lebih kompleks dan menyakitkan dari yang dibayangkan, serta bagaimana kita bisa menghadapinya.
Bukan Sekadar Berakhirnya Pernikahan, Tapi Runtuhnya Fondasi yang Dikenal
Ketika orang tua kita yang sudah sepuh memutuskan untuk berpisah, ini bukan hanya tentang dua orang yang tidak lagi ingin bersama. Bagi kita, anak-anak mereka yang sudah dewasa, ini terasa seperti gempa bumi yang mengguncang fondasi keluarga yang selama ini kita kenal. Bayangkan, sejak kecil sampai kita dewasa dan membangun hidup sendiri, ‘keluarga’ dalam definisi kita selalu melibatkan kedua orang tua kita dalam satu unit. Entah itu dalam perayaan hari raya, acara keluarga besar, momen spesial seperti pernikahan kita, atau bahkan sekadar bayangan masa tua mereka yang akan dihabiskan bersama.
Fondasi ini mungkin tidak selalu sempurna, mungkin ada dinamika rumit di dalamnya, tapi itulah ‘rumah’ yang kita tinggali secara emosional. Perceraian di usia senja meruntuhkan gambaran itu. Gambaran liburan bareng anak cucu yang utuh, gambaran perayaan ulang tahun pernikahan emas, atau sekadar bayangan rumah masa kecil yang selalu ada kedua orang tua di dalamnya. Semua itu tiba-tiba sirna, digantikan dengan ketidakpastian dan keharusan untuk menata ulang peta keluarga.
Mengapa Anak Dewasa Merasa Lebih Terluka?
Ada beberapa alasan mendalam mengapa perceraian orang tua usia tua bisa menjadi pukulan berat bagi anak dewasa, bahkan melebihi kesedihan saat perceraian terjadi di usia kita masih kecil.
1. Kehilangan Bukan Hanya Orang Tua Bersatu, Tapi Juga Identitas Keluarga
Saat kita kecil, perceraian memang traumatis. Tapi sebagai anak, fokus utama kita mungkin pada kelangsungan hidup, di mana kita akan tinggal, sekolah, dan siapa yang akan mengurus kita. Saat dewasa, kebutuhan dasar itu sudah terpenuhi. Luka yang muncul lebih ke arah eksistensial dan identitas. Kita kehilangan definisi ‘keluarga inti’ yang sudah puluhan tahun tertanam. Ini bisa mengguncang rasa aman dan stabilitas, meskipun kita sudah punya keluarga sendiri. Keluarga asal adalah jangkar, dan ketika jangkar itu goyah, kita pun merasa limbung.
2. Beban Emosional dan Logistik yang Tak Terduga
Perceraian orang tua di usia lanjut seringkali memunculkan beban baru. Kita mungkin merasa harus memilih pihak, menjadi tempat curhat salah satu atau kedua orang tua, atau bahkan menjadi penengah. Beban emosional ini sangat menguras energi. Selain itu, ada beban logistik. Siapa yang akan membantu mereka pindah? Mengatur keuangan yang terpisah? Menemani ke pengacara atau pengadilan? Sebagai anak dewasa, seringkali kita yang menjadi garda terdepan untuk membantu orang tua menavigasi proses yang rumit ini, di tengah kesibukan dan tanggung jawab hidup kita sendiri.