Pernikahan Bikin Kehilangan Diri? Apa Sih maksudnya
harmonikita.com – Pernikahan seringkali diidamkan sebagai puncak cinta dan kebersamaan, langkah besar dalam kehidupan yang konon menyatukan dua jiwa menjadi satu. Namun, di balik janji suci dan impian romantis, ada satu kekhawatiran yang diam-diam sering menghantui banyak orang, terutama kaum muda yang baru atau akan melangkah ke jenjang ini: apakah pernikahan bikin kehilangan diri kita yang dulu? Perasaan cemas ini wajar muncul, apalagi di era digital di mana kita sering terpapar berbagai cerita, baik yang indah maupun yang penuh tantangan, tentang realita hidup berpasangan. Pertanyaan “siapa aku setelah menikah?” bukanlah hal yang aneh, dan penting untuk kita diskusikan bersama.
Menikah memang sebuah perubahan besar. Kita tidak lagi hidup sendiri, membuat keputusan hanya untuk diri sendiri, atau memiliki waktu 24 jam penuh untuk diatur sesuka hati. Ada sosok lain yang kini menjadi bagian tak terpisahkan dari hari-hari kita, yang kehidupannya terjalin erat dengan kehidupan kita. Perubahan ini, meskipun positif dan penuh cinta, kadang bisa terasa menggerus sudut-sudut kemandirian dan kebiasaan yang selama ini membentuk identitas kita. Tapi, benarkah menikah pasti berarti kehilangan diri?
Mengapa Perasaan “Kehilangan Diri” Itu Bisa Muncul Setelah Menikah?
Perasaan bahwa seolah-olah sebagian dari diri kita menghilang setelah menikah bukanlah ilusi semata. Ada beberapa faktor alami yang memang bisa memicu munculnya perasaan ini. Memahami mengapa kita merasakannya adalah langkah pertama untuk bisa mengatasinya.
Perubahan Peran dan Prioritas yang Drastis
Sebelum menikah, pusat dunia kita seringkali adalah diri sendiri, karier, hobi, atau lingkaran pertemanan. Setelah menikah, tiba-tiba ada peran baru sebagai ‘pasangan’, ‘suami’, atau ‘istri’. Prioritas pun bergeser. Waktu dan energi yang dulunya bisa dihabiskan untuk diri sendiri, kini harus dibagi dengan pasangan, urusan rumah tangga, atau bahkan rencana masa depan bersama. Pergeseran ini bisa terasa sangat cepat dan kadang membuat kita kewalahan, seolah identitas lama kita harus ditepikan demi peran yang baru. Ini bukan berarti peran baru itu buruk, tapi transisinya yang butuh penyesuaian.
Kompromi yang Tak Henti
Pernikahan adalah seni kompromi, kata banyak orang bijak. Dan itu benar. Mulai dari hal kecil seperti menentukan menu makan malam, hingga keputusan besar seperti tempat tinggal atau pengelolaan keuangan, semuanya butuh diskusi dan titik temu. Dalam proses kompromi ini, kita mungkin harus melepaskan sebagian keinginan atau kebiasaan kita demi kesepakatan bersama. Jika tidak disikapi dengan bijak, rentetan kompromi ini bisa menimbulkan perasaan bahwa kita terus-menerus mengorbankan diri, yang lambat laun bisa terasa seperti kehilangan sebagian esensi diri kita.
Hilangnya Ruang dan Waktu Pribadi (Me Time)
Ini salah satu keluhan yang paling sering terdengar. Sebelum menikah, kita punya banyak waktu untuk diri sendiri, melakukan hobi, merenung, atau sekadar bersantai tanpa gangguan. Setelah menikah, apalagi jika sudah punya anak, waktu pribadi seolah jadi barang mewah. Kurangnya me time ini bisa membuat kita merasa sesak, kehilangan kesempatan untuk ‘bertemu’ dengan diri sendiri, dan akibatnya merasa terputus dari hobi atau minat yang dulunya sangat berarti.
Tekanan Sosial dan Ekspektasi
Masyarakat punya gambaran ideal tentang bagaimana seharusnya orang yang sudah menikah bersikap. Ada ekspektasi bahwa pasangan harus selalu bersama, harus selalu memprioritaskan keluarga di atas segalanya, atau bahwa hobi-hobi ‘kekanak-kanakan’ harus ditinggalkan. Tekanan dari lingkungan sekitar, bahkan dari keluarga sendiri, bisa membuat kita merasa harus menyesuaikan diri dengan cetakan ‘orang menikah’ yang mungkin tidak sepenuhnya cocok dengan kepribadian asli kita.