Gen Z Dicap Malas? Ternyata Ini Alasan Mereka Ogah Lembur
- Mengenali Gejala Burnout: Gen Z cenderung lebih peka terhadap tanda-tanda kelelahan fisik dan mental. Mereka tahu kapan mereka perlu istirahat sebelum benar-benar kolaps.
- Prioritas Kesejahteraan: Bagi mereka, menjaga kesehatan mental sama pentingnya—jika tidak lebih penting—daripada mendapatkan promosi atau gaji tinggi dengan mengorbankan diri. Menolak lembur bisa jadi salah satu cara mereka menetapkan batasan untuk melindungi diri dari stres berlebihan. Sebuah survei dari American Psychological Association (APA) beberapa tahun lalu bahkan menunjukkan Gen Z memiliki tingkat stres tertinggi dibanding generasi lainnya. Data seperti ini mendukung mengapa mereka sangat berhati-hati dengan beban kerja.
- Terapi dan Dukungan: Mencari bantuan profesional atau berbicara tentang masalah mental bukanlah hal tabu bagi mereka, berbeda dengan pandangan di masa lalu. Lingkungan kerja yang menuntut jam kerja gila-gilaan seringkali dianggap tidak mendukung kesejahteraan ini.
Mencari Tujuan (Purpose) dan Makna dalam Pekerjaan
Gen Z tidak hanya bekerja demi gaji. Tentu, uang itu penting, apalagi dengan biaya hidup yang terus meningkat. Tapi, mereka juga sangat peduli apakah pekerjaan mereka memiliki dampak positif, sejalan dengan nilai-nilai pribadi mereka, dan memberikan rasa purpose.
- Nilai-nilai Perusahaan: Mereka cenderung memilih perusahaan yang nilai-nilainya selaras dengan mereka, misalnya soal keberlanjutan, keberagaman, atau tanggung jawab sosial. Lembur di pekerjaan yang dirasa tidak bermakna atau tidak sesuai nilai akan terasa seperti membuang waktu berharga.
- Kontribusi yang Terlihat: Gen Z ingin merasa kontribusi mereka dihargai dan memiliki arti. Jika lembur tidak menghasilkan dampak yang signifikan atau hanya karena ‘tradisi’, mereka akan mempertanyakannya. Mereka lebih suka bekerja efisien dan produktif dalam jam kerja normal daripada sekadar memperpanjang waktu di kantor tanpa hasil jelas.
Menginginkan Fleksibilitas dan Otonomi
Tumbuh di era teknologi memungkinkan Gen Z melihat potensi cara kerja yang lebih fleksibel. Model kerja 9-to-5 yang kaku dan harus selalu di kantor terasa kuno bagi banyak dari mereka.
- Kerja Hybrid/Remote: Pengalaman pandemi membuktikan bahwa kerja bisa dilakukan dari mana saja bagi banyak profesi. Gen Z menginginkan opsi ini karena memberikan mereka kebebasan untuk mengatur waktu dan lokasi kerja yang paling efektif. Lembur seringkali diidentikkan dengan ‘terjebak’ di satu tempat.
- Fokus pada Hasil, Bukan Jam: Mereka lebih suka diukur berdasarkan hasil atau output, bukan berapa lama mereka duduk di depan layar. Jika pekerjaan bisa selesai dalam jam kerja normal dengan hasil memuaskan, mengapa harus menambah jam hanya demi terlihat ‘sibuk’?
Realitas Ekonomi: Gaji dan Pengeluaran yang Tidak Sebanding
Ini mungkin terdengar kontradiktif, tapi kenyataannya, meskipun Gen Z memprioritaskan hal lain selain uang, realitas ekonomi tetap berperan dalam keputusan mereka untuk lembur. Dengan biaya hidup yang tinggi, harga properti yang selangit, dan mungkin beban utang pendidikan, banyak Gen Z merasa gaji standar mereka pas-pasan.
- Bayaran Lembur yang Adil: Seringkali, bayaran untuk jam lembur dirasa tidak sepadan dengan waktu dan energi yang dikeluarkan. Jika perhitungan bayaran lembur tidak menarik, mereka lebih memilih menggunakan waktu luang untuk mencari side hustle, mengembangkan skill, atau sekadar beristirahat untuk menjaga produktivitas keesokan harinya di jam kerja normal.
- Gig Economy dan Peluang Lain: Gen Z lebih terbuka pada model gig economy atau kerja lepas. Waktu luang yang didapat karena tidak lembur bisa mereka gunakan untuk mengambil proyek lepas yang mungkin menawarkan bayaran per jam lebih tinggi atau memberikan pengalaman baru.
Perubahan Paradigma dalam Produktivitas
Pandangan tradisional seringkali menyamakan produktivitas dengan jumlah jam kerja. Semakin lama di kantor, dianggap semakin produktif. Gen Z menantang pandangan ini. Bagi mereka, produktivitas lebih tentang efisiensi, fokus, dan menghasilkan pekerjaan berkualitas dalam waktu yang ditentukan.
Mereka tumbuh dengan perangkat digital yang memungkinkan kerja lebih cepat dan cerdas. Mereka terbiasa mencari cara paling efisien untuk menyelesaikan tugas. Oleh karena itu, jika mereka bisa menyelesaikan pekerjaan dalam 8 jam, menghabiskan 2-3 jam tambahan hanya untuk memenuhi ekspektasi ‘lembur’ terasa tidak logis dan tidak efisien. Mereka melihatnya sebagai budaya kerja yang sudah ketinggalan zaman.