Gen Z Cari Karir Ideal, Bukan Cuma Gaji Besar! Kenapa?
harmonikita.com – Fenomena Gen Z mudah berpindah kerja tampaknya menjadi sorotan hangat di dunia profesional belakangan ini. Generasi yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an ini seringkali terlihat tidak ragu untuk mencari peluang baru dalam rentang waktu yang relatif singkat di satu perusahaan. Anggapan “tidak loyal” pun kerap dialamatkan pada mereka. Namun, apakah sesederhana itu? Ataukah ada faktor-faktor mendalam yang membentuk pola kerja Gen Z hingga mereka terlihat lebih “lincah” dalam urusan karir? Artikel ini akan mengupas 5 faktor utama yang memengaruhi keputusan mereka untuk berpindah kerja, melihatnya bukan sebagai kekurangan, melainkan sebagai adaptasi terhadap lanskap kerja yang terus berubah.
Kita hidup di era serba cepat, di mana informasi mengalir tanpa henti dan perubahan terjadi dalam hitungan bulan, bahkan minggu. Gen Z tumbuh besar dengan realitas ini. Internet, media sosial, dan akses instan terhadap segala sesuatu membentuk cara pandang mereka terhadap banyak hal, termasuk pekerjaan. Bagi mereka, pekerjaan bukan hanya soal mencari nafkah, tapi juga tentang pertumbuhan, keseimbangan, makna, dan pengakuan. Memahami perspektif ini sangat penting sebelum kita buru-buru memberi label pada mereka.
Mencari Pertumbuhan dan Pengembangan Diri yang Kilat
Salah satu pendorong terbesar di balik keputusan Gen Z untuk berpindah kerja adalah keinginan kuat akan pertumbuhan dan pengembangan diri yang cepat. Mereka tidak sabar menunggu promosi atau kenaikan jabatan bertahun-tahun lamanya seperti generasi sebelumnya. Lingkungan digital yang mereka tinggali mengajarkan bahwa skill baru bisa dipelajari dengan cepat, dan peluang bisa datang dari mana saja.
Ketika Gen Z merasa stagnan di posisi mereka, tidak ada ruang untuk belajar skill baru, atau jalur karir tidak jelas, sinyal untuk mencari tempat lain pun mulai berbunyi. Mereka haus akan tantangan baru, proyek yang bervariasi, dan mentor yang bisa membimbing mereka. Perusahaan yang tidak menyediakan program pengembangan karir yang solid, pelatihan berkelanjutan, atau kesempatan untuk rotasi pekerjaan, akan kesulitan mempertahankan talenta Gen Z. Mereka melihat pindah kerja sebagai cara tercepat untuk mengakselerasi pembelajaran dan mencapai level berikutnya dalam karir mereka, bukan sebagai bentuk ketidaksetiaan, melainkan investasi pada diri sendiri.
Prioritaskan Keseimbangan Hidup, Bukan Sekadar Gaji
Berbeda dengan generasi sebelumnya yang mungkin mengorbankan banyak waktu dan energi demi pekerjaan dan gaji tinggi, Gen Z punya pandangan yang berbeda tentang sukses. Mereka sangat menjunjung tinggi keseimbangan antara kehidupan profesional dan pribadi (work-life balance). Kesehatan mental dan kesejahteraan pribadi bukanlah isu sekunder, melainkan prioritas utama.
Jam kerja yang kaku, ekspektasi untuk terus menerus “online” di luar jam kerja, atau budaya lembur yang ekstrem adalah “lampu merah” bagi Gen Z. Mereka tidak masalah bekerja keras dan memberikan yang terbaik, asalkan ada batasan yang jelas. Waktu untuk keluarga, teman, hobi, dan istirahat adalah hal yang tidak bisa ditawar. Ketika sebuah pekerjaan menggerogoti terlalu banyak waktu dan energi mereka di luar ranah profesional, atau bahkan berdampak buruk pada kesehatan mental, mereka tidak akan ragu mencari lingkungan yang lebih mendukung gaya hidup seimbang yang mereka impikan. Gaji besar bisa menarik, tapi tidak akan cukup kuat menahan mereka jika keseimbangan hidup mereka terganggu.
Budaya Perusahaan yang Inklusif dan Bermakna Itu Wajib
Bagi Gen Z, bekerja bukan hanya soal “apa yang saya kerjakan”, tapi juga “dengan siapa saya bekerja” dan “untuk apa saya bekerja”. Mereka sangat peduli dengan budaya perusahaan, nilai-nilai yang dianut, serta dampak sosial dan lingkungan dari pekerjaan mereka. Keberagaman (diversity), kesetaraan (equity), dan inklusi (inclusion) bukanlah sekadar jargon, melainkan prinsip yang mereka harapkan benar-benar dijalankan oleh perusahaan.
Mereka ingin merasa menjadi bagian dari komunitas yang suportif, di mana setiap orang dihargai terlepas dari latar belakang mereka. Lingkungan kerja yang toksik, diskriminatif, atau minim empati akan membuat mereka merasa tidak nyaman dan akhirnya mencari tempat lain. Lebih dari itu, Gen Z ingin pekerjaan mereka memiliki makna. Mereka cenderung memilih perusahaan yang visinya sejalan dengan nilai-nilai pribadi mereka, yang berkontribusi positif pada masyarakat atau lingkungan. Bekerja di perusahaan yang hanya fokus pada keuntungan tanpa peduli dampak sosial seringkali kurang menarik bagi mereka. Rasa terasing, ketidaksesuaian nilai, atau kurangnya makna dalam pekerjaan bisa menjadi alasan kuat bagi Gen Z untuk ‘check out’ dan mencari tempat yang lebih selaras dengan hati nurani mereka.