Proses Rekrutmen Usang? Gen Z Sudah Tidak Tertarik!

Proses Rekrutmen Usang? Gen Z Sudah Tidak Tertarik!

harmonikita.com – Generasi Z, yang tumbuh besar di era digital dengan segala fleksibilitas dan inovasinya, seringkali merasa dunia kerja saat ini bagaikan museum yang penuh aturan usang. Mereka memasuki pasar tenaga kerja dengan ekspektasi yang berbeda, nilai-nilai yang unik, dan pemahaman mendalam tentang potensi teknologi. Namun, tak jarang mereka menemukan jurang pemisah antara idealisme mereka dan realitas kantor konvensional. Mengapa demikian? Mari kita telaah lebih dalam.

Budaya Kerja yang Kaku dan Hierarkis

Salah satu ganjalan utama bagi Gen Z adalah budaya kerja yang masih sangat hierarkis dan kurang fleksibel. Mereka terbiasa dengan dunia di mana ide bisa datang dari siapa saja, tanpa memandang senioritas. Struktur organisasi yang berlapis-lapis dan proses pengambilan keputusan yang lambat terasa kontraproduktif bagi generasi yang menghargai efisiensi dan kolaborasi yang setara.

Gen Z tumbuh dalam lingkungan di mana informasi bergerak cepat dan batasan geografis semakin kabur. Mereka melihat potensi besar dalam kerja jarak jauh dan jam kerja yang fleksibel, yang memungkinkan mereka untuk menyeimbangkan kehidupan pribadi dan profesional dengan lebih baik. Survei dari Deloitte Global 2023 Gen Z and Millennial Survey menunjukkan bahwa keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi adalah prioritas utama bagi Gen Z dalam memilih pekerjaan. Namun, banyak perusahaan masih terpaku pada model kerja tradisional, yang mengharuskan karyawan hadir di kantor dengan jam kerja yang ketat. Hal ini seringkali dianggap sebagai bentuk ketidakpercayaan dan menghambat produktivitas, alih-alih meningkatkannya.

Baca Juga :  7 Tanda Pernikahan Anda Tak Seimbang: Sudah Waktunya Berubah!

Kurangnya Tujuan yang Jelas dan Dampak Sosial

Generasi Z adalah generasi yang sangat peduli dengan isu-isu sosial dan lingkungan. Mereka mencari pekerjaan yang tidak hanya memberikan gaji, tetapi juga memiliki tujuan yang jelas dan memberikan dampak positif bagi masyarakat atau planet ini. Mereka ingin merasa bahwa pekerjaan mereka berkontribusi pada sesuatu yang lebih besar dari sekadar keuntungan perusahaan.

Menurut laporan dari McKinsey, “What Gen Z wants in the workplace,” generasi ini cenderung memilih perusahaan yang memiliki nilai-nilai yang sejalan dengan nilai-nilai mereka sendiri dan yang menunjukkan komitmen terhadap tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Mereka tidak lagi hanya mencari pekerjaan, tetapi juga mencari makna dalam pekerjaan mereka. Ketika dunia kerja gagal menawarkan hal ini, Gen Z merasa tidak termotivasi dan kurang terlibat.

Baca Juga :  Inilah Freelancer, Pekerjaan Berpenghasilan Tanpa Terikat

Proses Rekrutmen dan Pengembangan yang Tidak Adaptif

Proses rekrutmen yang panjang, berbelit-belit, dan kurang transparan juga menjadi sumber frustrasi bagi Gen Z. Mereka terbiasa dengan informasi yang mudah diakses dan proses yang efisien. Aplikasi pekerjaan yang memakan waktu berjam-jam dan kurangnya umpan balik yang jelas dapat membuat mereka merasa tidak dihargai dan enggan untuk melanjutkan proses.

Selain itu, Gen Z juga mencari peluang pengembangan diri yang berkelanjutan. Mereka ingin belajar keterampilan baru, mendapatkan mentor, dan memiliki jalur karir yang jelas. Perusahaan yang tidak menawarkan program pelatihan yang relevan dan kesempatan untuk tumbuh seringkali dianggap tidak menarik bagi generasi yang haus akan pengetahuan dan perkembangan ini. Data dari LinkedIn menunjukkan bahwa Gen Z adalah generasi yang paling aktif mencari peluang belajar dan mengembangkan diri di platform tersebut.

Baca Juga :  Terdengar Tanpa Berteriak, Tips Komunikasi Efektif di Era Digital

Teknologi yang Tidak Dimanfaatkan Secara Optimal

Sebagai digital natives, Gen Z tumbuh dengan teknologi di ujung jari mereka. Mereka mahir menggunakan berbagai platform digital, perangkat lunak, dan alat komunikasi online. Mereka melihat teknologi sebagai solusi untuk banyak masalah dan cara untuk meningkatkan efisiensi. Namun, mereka seringkali mendapati bahwa dunia kerja masih menggunakan sistem dan perangkat lunak yang ketinggalan zaman, yang menghambat produktivitas dan kolaborasi.

Mereka juga mengharapkan adanya integrasi teknologi yang lebih baik dalam pekerjaan sehari-hari, seperti penggunaan kecerdasan buatan (AI) untuk tugas-tugas rutin atau platform kolaborasi yang canggih. Ketika perusahaan gagal memanfaatkan potensi teknologi secara maksimal, Gen Z merasa bahwa mereka tidak dapat bekerja secara efektif dan efisien.

Similar Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *