Kerja Dengan Sehat Batin? Gen Z Tahu Caranya! (www.freepik.com)
harmonikita.com – Siapa bilang kerja harus mengorbankan kesehatan mental? Buat kerja dengan sehat batin itu bukan lagi pilihan, tapi kebutuhan mutlak. Dan kalau bicara soal ini, Gen Z, generasi paling muda yang mulai meramaikan dunia kerja, sepertinya punya “resep” rahasia yang patut kita simak. Mereka datang dengan perspektif yang berbeda, menolak budaya kerja keras yang berlebihan tanpa peduli dampaknya pada diri sendiri. Yuk, kita intip kenapa kesehatan batin ini jadi prioritas utama bagi mereka dan apa saja yang bisa kita pelajari!
Dulu, mungkin kita sering dengar cerita atau melihat sendiri bagaimana bekerja itu identik dengan perjuangan, pengorbanan waktu dan tenaga habis-habisan, kadang sampai lupa sama diri sendiri. “Yang penting kerja,” begitu kira-kira pesannya. Hasil kerja jadi satu-satunya tolok ukur kesuksesan, tanpa banyak ruang untuk membahas bagaimana perasaan kita saat menjalaninya.
Tapi, zaman sudah berubah. Dunia kerja berevolusi, dan begitu juga dengan cara pandang kita, terutama generasi muda. Gen Z, yang tumbuh besar di era digital, serba terkoneksi, dan penuh informasi, punya kesadaran yang lebih tinggi tentang pentingnya keseimbangan dan kesehatan diri, termasuk kesehatan mental. Mereka tidak ragu menyuarakan kebutuhan mereka, termasuk kebutuhan akan lingkungan kerja yang suportif dan jam kerja yang manusiawi. Mereka paham betul, bahwa produktivitas jangka panjang itu hanya bisa diraih kalau batin kita juga sehat dan bahagia.
Mengapa Kesehatan Batin di Tempat Kerja Begitu Penting Hari Ini?
Sebelum kita menyelami lebih jauh cara Gen Z mengelola kesehatan batinnya, ada baiknya kita pahami dulu mengapa topik ini jadi sangat relevan saat ini. Dunia kerja modern, dengan segala tuntutannya, bisa jadi medan yang cukup menantang bagi kesehatan mental kita. Tenggat waktu yang ketat, persaingan, komunikasi yang intens (bahkan di luar jam kerja berkat teknologi), sampai ketidakpastian karier bisa jadi pemicu stres dan kecemasan yang serius.
Stres kerja yang menumpuk bukan cuma bikin kita nggak semangat atau gampang marah. Dampaknya bisa jauh lebih dalam, lho. Mulai dari susah tidur, sakit fisik yang nggak jelas penyebabnya, sulit konsentrasi, sampai perasaan burnout atau kelelahan ekstrem yang bikin kita kehilangan motivasi sama sekali. Kalau sudah begini, bukan cuma pekerjaan yang kena imbasnya, tapi juga hubungan kita dengan orang sekitar, bahkan kualitas hidup secara keseluruhan.
Dulu, mungkin banyak yang menganggap ini “wajar” dalam bekerja. Tapi kini, semakin banyak yang sadar bahwa ini tidak sehat dan tidak berkelanjutan. Perusahaan pun mulai memahami bahwa karyawan yang sehat mental cenderung lebih produktif, kreatif, dan loyal. Jadi, investasi pada kesehatan batin karyawan sebenarnya juga investasi bagi kesuksesan organisasi.
Stres Kerja: Bukan Sekadar Rasa Lelah Biasa
Kita semua pernah merasa lelah karena pekerjaan. Itu normal. Tapi, stres kerja itu beda. Stres kerja adalah respons tubuh dan pikiran terhadap tekanan yang berlebihan di tempat kerja. Ini bisa datang dari beban kerja yang terlalu banyak, kurang kontrol atas pekerjaan, lingkungan kerja yang tidak suportif, konflik dengan rekan kerja atau atasan, bahkan sampai merasa tidak dihargai.
Yang membedakan stres kerja dari kelelahan biasa adalah sifatnya yang persisten dan dampaknya yang meluas. Kelelahan bisa pulih dengan istirahat cukup, tapi stres kerja yang kronis bisa menggerogoti energi kita perlahan tapi pasti, sampai kita merasa kosong dan putus asa. Ini kondisi yang serius, dan sayangnya, masih banyak yang menganggap remeh atau malu mengakuinya.
Inilah salah satu poin penting kenapa Gen Z cukup vokal soal ini. Mereka tumbuh di era di mana isu kesehatan mental semakin terbuka dibicarakan, bukan lagi jadi topik yang tabu. Mereka lebih nyaman untuk mengakui ketika mereka merasa kesulitan, mencari bantuan, dan menuntut perubahan yang mendukung kesejahteraan mereka. Ini adalah langkah maju yang patut diacungi jempol.
Generasi Z dan Perspektif Baru tentang Kerja
Lantas, apa sih yang membuat Gen Z punya pendekatan yang berbeda terhadap kerja dan kesehatan batin? Beberapa faktor kunci yang membentuk pandangan mereka antara lain:
- Sadar Pentingnya Keseimbangan: Dibanding generasi sebelumnya, Gen Z cenderung memandang kerja bukan sebagai satu-satunya pusat kehidupan. Mereka sangat menghargai waktu luang, hobi, dan kehidupan sosial di luar pekerjaan. Konsep work-life balance atau work-life integration (mencampur tapi tetap seimbang) bukan cuma slogan bagi mereka, tapi prinsip yang benar-benar ingin mereka jalani.
- Terbuka Soal Kesehatan Mental: Mereka adalah generasi yang paling terbuka bicara soal kesehatan mental. Mereka tidak malu mengakui kecemasan, stres, atau burnout yang mereka alami. Keterbukaan ini membuat mereka lebih proaktif mencari solusi dan dukungan, baik dari teman, keluarga, profesional, maupun menuntutnya dari tempat kerja.
- Mencari Makna dan Tujuan: Gen Z tidak hanya bekerja demi gaji. Mereka mencari pekerjaan yang bermakna, sesuai dengan nilai-nilai pribadi mereka, dan memberikan dampak positif. Bekerja di tempat yang nilai-nilainya bertentangan dengan mereka bisa jadi sumber stres tersendiri, dan mereka tidak ragu untuk mencari tempat lain yang lebih cocok.
- Adaptif dengan Teknologi, Tapi Juga Sadar Risikonya: Tumbuh bersama teknologi membuat mereka fasih menggunakannya untuk kerja fleksibel atau berkomunikasi. Namun, mereka juga sadar risiko sisi gelapnya, seperti “selalu terhubung” yang bisa mengikis batasan antara kerja dan kehidupan pribadi. Mereka lebih sadar pentingnya digital detox atau menetapkan batasan digital.
- Pengalaman Krisis Global: Generasi ini menyaksikan krisis ekonomi, pandemi, dan isu-isu sosial global melalui layar gawai mereka. Ini membentuk pandangan bahwa hidup itu tidak pasti dan waktu bersama orang tersayang atau untuk diri sendiri itu sangat berharga. Kerja sampai lupa segalanya jadi terasa kurang relevan di tengah ketidakpastian ini.
Perspektif-perspektif inilah yang membuat Gen Z punya cara pandang dan strategi yang unik dalam menjalani kehidupan kerja mereka sambil tetap berusaha menjaga kesehatan batin.
Membongkar “Rahasia” Gen Z dalam Menjaga Sehat Batin
Jadi, apa saja jurus-jurus “rahasia” yang dipakai Gen Z untuk menjaga kesehatan batin di tengah tuntutan kerja? Sebenarnya bukan rahasia sih, lebih ke penerapan hal-hal yang bagi mereka sudah jadi “standar” baru dalam bekerja:
1. Menetapkan Batasan ( Boundaries ) yang Jelas:
Ini mungkin pelajaran paling penting yang bisa kita ambil dari Gen Z. Mereka berani bilang TIDAK pada permintaan yang melampaui batas jam kerja atau deskripsi pekerjaan mereka (dalam konteks yang wajar tentunya). Mereka tidak merasa bersalah untuk tidak membalas email atau pesan pekerjaan di luar jam kantor, menolak lembur yang tidak perlu, atau mengalokasikan waktu istirahat yang cukup. Menetapkan batasan ini krusial untuk mencegah burnout dan memastikan ada energi yang tersisa untuk kehidupan di luar kerja.
2. Memprioritaskan Keseimbangan Hidup-Kerja:
Bagi Gen Z, keseimbangan ini bukan lagi sekadar benefit tambahan dari kantor, melainkan hak dasar. Mereka mencari pekerjaan yang memungkinkan fleksibilitas, baik dalam hal jam kerja maupun lokasi (remote atau hybrid working). Mereka percaya bahwa memiliki waktu untuk keluarga, teman, hobi, dan istirahat adalah bagian penting dari hidup sehat yang justru akan meningkatkan produktivitas mereka saat bekerja.
3. Terbuka dan Mencari Dukungan:
Dibanding generasi sebelumnya yang mungkin lebih memilih menyimpan masalah sendiri, Gen Z cenderung lebih terbuka untuk membicarakan kesulitan yang mereka hadapi, termasuk masalah kesehatan mental. Mereka tidak ragu untuk curhat pada teman, keluarga, mencari mentor, atau bahkan menemui psikolog atau konselor profesional. Memiliki support system yang kuat dan berani meminta bantuan adalah kunci untuk tidak merasa sendirian saat menghadapi tekanan.
4. Memilih Perusahaan dengan Budaya yang Suportif:
Gen Z tidak hanya melamar pekerjaan berdasarkan gaji atau posisi. Mereka juga sangat mempertimbangkan budaya perusahaan. Mereka mencari lingkungan kerja yang inklusif, menghargai keberagaman, suportif, dan punya kepedulian nyata terhadap kesejahteraan karyawan, termasuk kesehatan mental. Perusahaan yang punya program kesehatan mental, pemimpin yang empatik, dan mendorong komunikasi terbuka akan jadi nilai tambah yang besar bagi mereka.
5. Mengintegrasikan Self-Care dalam Rutinitas:
Bagi Gen Z, self-care atau merawat diri bukanlah kemewahan, tapi keharusan. Ini bisa berupa hal sederhana seperti mengambil jeda singkat di tengah kerja, berolahraga, meditasi, melakukan hobi, atau sekadar punya waktu tenang untuk diri sendiri setiap hari. Mereka memahami bahwa menjaga energi fisik dan mental adalah fondasi penting untuk bisa berfungsi optimal, baik di tempat kerja maupun di kehidupan pribadi.
6. Mencari Fleksibilitas dalam Segala Hal:
Fleksibilitas bukan hanya soal lokasi kerja. Gen Z juga mencari fleksibilitas dalam cara kerja, proyek yang dikerjakan, bahkan jalur karier. Kemampuan untuk menyesuaikan diri dan punya pilihan membuat mereka merasa lebih terkontrol atas pekerjaan mereka, yang bisa mengurangi stres dan meningkatkan rasa puas.
Bukan Hanya untuk Gen Z: Pelajaran untuk Semua Generasi
Mungkin kamu bukan bagian dari Gen Z, tapi bukan berarti kamu tidak bisa mengambil pelajaran berharga dari mereka. Prinsip-prinsip menjaga kesehatan batin di tempat kerja ini sifatnya universal dan bisa diterapkan oleh siapa saja, dari generasi mana pun.
Kesadaran akan pentingnya batasan, kebutuhan akan keseimbangan hidup, keberanian untuk bicara soal perasaan, mencari lingkungan yang suportif, dan praktik self-care adalah hal-hal yang bisa meningkatkan kualitas hidup kerja siapa saja. Mungkin butuh usaha lebih untuk mengubah kebiasaan lama atau pola pikir yang sudah terbentuk, tapi hasilnya pasti akan sepadan.
Mari kita lihat perspektif Gen Z ini sebagai inspirasi positif untuk menciptakan dunia kerja yang lebih sehat dan manusiawi, bukan hanya untuk mereka, tapi untuk kita semua.
Membangun Lingkungan Kerja yang Mendukung Kesehatan Batin
Peran perusahaan juga sangat penting dalam hal ini. Generasi Z secara tidak langsung “memaksa” dunia kerja untuk beradaptasi dan mulai serius memikirkan kesejahteraan karyawan. Beberapa hal yang bisa dilakukan perusahaan untuk mendukung kesehatan batin karyawannya, sejalan dengan apa yang dicari Gen Z:
- Menciptakan Budaya Terbuka dan Empati: Mendorong komunikasi terbuka tentang kesehatan mental, melatih manager untuk lebih empatik dan suportif, serta menghilangkan stigma negatif seputar isu ini.
- Menawarkan Program Dukungan Kesehatan Mental: Menyediakan akses mudah ke konseling profesional, program Employee Assistance Program (EAP), atau sesi edukasi tentang manajemen stres dan well-being.
- Menerapkan Kebijakan Fleksibel: Memberikan opsi kerja remote atau hybrid, jam kerja fleksibel, dan cuti yang memadai untuk istirahat atau mengurus keperluan pribadi.
- Mengelola Beban Kerja Secara Adil: Memastikan beban kerja didistribusikan secara merata dan realistis, serta menyediakan sumber daya yang cukup bagi karyawan.
- Mengakui dan Menghargai Kontribusi: Memberikan apresiasi yang tulus atas kerja keras karyawan, karena merasa dihargai bisa sangat meningkatkan moral dan mengurangi stres.
Dengan berinvestasi pada kesehatan batin karyawan, perusahaan tidak hanya menciptakan lingkungan kerja yang lebih bahagia, tapi juga menuai keuntungan dalam bentuk peningkatan produktivitas, retensi karyawan yang lebih baik, dan reputasi positif.
Langkah Kecil Menuju Kerja yang Lebih Sehat Batin
Oke, setelah memahami pentingnya dan bagaimana Gen Z menghadapinya, mungkin kamu bertanya, “Apa yang bisa saya lakukan sekarang?” Memulai itu seringkali terasa berat, tapi ingat, perubahan besar dimulai dari langkah-langkah kecil.
Pertama, coba sadari dulu kondisi batinmu saat ini. Jujur pada diri sendiri, apakah kamu merasa sering lelah, cemas, atau kehilangan motivasi terkait pekerjaan? Mengakui perasaan itu adalah langkah awal yang penting.
Kedua, identifikasi pemicu stresmu di tempat kerja. Apakah beban kerja yang terlalu berat, hubungan dengan atasan/rekan kerja, atau kurangnya kontrol? Setelah tahu pemicunya, baru kamu bisa mulai mencari solusinya.
Ketiga, coba terapkan satu atau dua “jurus” Gen Z yang paling relevan untukmu. Mungkin mulai dengan menetapkan batasan kecil, misalnya tidak mengecek email kerja setelah jam 7 malam. Atau, alokasikan waktu 15-30 menit setiap hari untuk self-care, entah itu jalan santai, mendengarkan musik, atau sekadar duduk tenang sambil minum teh.
Keempat, jangan ragu bicara. Kalau kamu merasa nyaman, coba bicara dengan atasan atau HRD tentang beban kerja atau hal lain yang mengganggu. Kalau belum siap bicara di kantor, ceritakan pada teman atau keluarga yang kamu percaya. Ingat, kamu tidak sendirian.
Kelima, pelajari cara mengelola stres. Ada banyak teknik relaksasi sederhana yang bisa dipelajari, seperti teknik pernapasan, meditasi singkat, atau peregangan di meja kerja.
Keenam, pertimbangkan profesional. Jika stres atau kecemasan terasa overwhelm, jangan ragu mencari bantuan dari psikolog atau konselor. Itu bukan tanda kelemahan, justru tanda kekuatan bahwa kamu peduli pada dirimu sendiri.
Menjaga kesehatan batin di tempat kerja bukanlah kemewahan, melainkan fondasi penting untuk bisa menjalani hidup yang utuh dan bahagia. Generasi Z mungkin datang dengan “standar” yang lebih tinggi soal ini, tapi pelajaran yang mereka berikan adalah untuk kita semua. Mari bersama-sama menciptakan budaya kerja yang lebih sehat, suportif, dan memungkinkan setiap individu untuk berkembang, baik secara profesional maupun personal. Karena pada akhirnya, kerja yang baik itu bukan cuma soal apa yang kita hasilkan, tapi juga bagaimana kita merasa saat menjalaninya.
