Kerja Gila Era 90-an yang Kini Dianggap Toxic
harmonikita.com – Kebiasaan kerja era 90-an yang kini dianggap tidak sehat oleh generasi muda menjadi topik menarik untuk diperbincangkan. Generasi yang tumbuh di era digital ini memiliki pandangan yang berbeda tentang bagaimana seharusnya pekerjaan dilakukan dan bagaimana kehidupan pribadi seharusnya dihargai. Beberapa praktik yang dulu dianggap lumrah kini dipandang kurang ideal, bahkan berpotensi merugikan kesejahteraan fisik dan mental. Mari kita telaah lebih lanjut tujuh kebiasaan kerja dari era 90-an yang kini mulai ditinggalkan atau diubah oleh generasi muda.
1. Budaya “Bekerja Lebih Lama Berarti Lebih Produktif”
Dulu, seringkali ada anggapan bahwa semakin lama seseorang menghabiskan waktu di kantor, semakin produktiflah ia. Lembur hingga larut malam dianggap sebagai bukti dedikasi dan loyalitas terhadap perusahaan. Namun, pandangan ini mulai bergeser di kalangan generasi muda. Mereka lebih menghargai efisiensi dan hasil kerja yang berkualitas, bukan sekadar kuantitas jam kerja. Penelitian menunjukkan bahwa bekerja terlalu lama justru dapat menurunkan produktivitas, meningkatkan stres, dan berdampak negatif pada kesehatan secara keseluruhan. Generasi muda kini lebih fokus pada work-life balance, di mana waktu untuk istirahat, keluarga, dan pengembangan diri juga dianggap sangat penting. Mereka percaya bahwa istirahat yang cukup dan kehidupan yang seimbang justru akan meningkatkan kualitas kerja secara keseluruhan.
2. Komunikasi yang Terlalu Formal dan Hierarkis
Di era 90-an, komunikasi di tempat kerja cenderung sangat formal dan mengikuti hierarki yang ketat. Email mungkin sudah mulai digunakan, namun interaksi tatap muka atau melalui telepon masih menjadi primadona. Generasi muda yang terbiasa dengan komunikasi yang lebih cair dan kolaboratif melalui berbagai platform digital, seringkali merasa komunikasi formal yang berlebihan terasa kaku dan kurang efisien. Mereka lebih memilih komunikasi yang transparan, terbuka, dan memungkinkan adanya umpan balik yang cepat dari berbagai tingkatan. Aplikasi pesan instan dan platform kolaborasi daring menjadi preferensi utama karena memungkinkan diskusi yang lebih dinamis dan inklusif. Hierarki tetap dihormati, namun gaya komunikasi yang lebih santai dan egaliter lebih disukai.
3. Minimnya Fleksibilitas dan Kerja Jarak Jauh
Konsep kerja jarak jauh atau remote working belum sepopuler sekarang di era 90-an. Bekerja dari kantor dengan jam kerja yang tetap adalah norma. Generasi muda saat ini sangat menghargai fleksibilitas dalam bekerja. Mereka tumbuh di era di mana teknologi memungkinkan pekerjaan untuk diselesaikan dari mana saja dan kapan saja. Survei menunjukkan bahwa fleksibilitas kerja menjadi salah satu faktor penting bagi generasi muda dalam memilih pekerjaan. Mereka melihat bahwa kemampuan untuk mengatur jadwal kerja dan lokasi kerja dapat meningkatkan keseimbangan hidup, mengurangi stres akibat perjalanan, dan bahkan meningkatkan produktivitas karena mereka dapat bekerja di lingkungan yang paling nyaman bagi mereka.
4. Kurangnya Perhatian pada Kesehatan Mental
Isu kesehatan mental di tempat kerja belum mendapatkan perhatian yang signifikan di era 90-an. Stigma terhadap masalah mental masih kuat, dan dukungan dari perusahaan untuk kesejahteraan mental karyawan masih sangat terbatas. Generasi muda saat ini jauh lebih sadar akan pentingnya kesehatan mental. Mereka tidak ragu untuk membicarakan isu ini dan mengharapkan perusahaan untuk menyediakan lingkungan kerja yang mendukung kesehatan mental mereka. Program-program seperti konseling, mental health days, dan pelatihan tentang mindfulness kini menjadi semakin umum dan dianggap sebagai investasi penting bagi kesejahteraan karyawan dan produktivitas jangka panjang.
5. Penilaian Kinerja yang Kurang Transparan dan Berkelanjutan
Di masa lalu, penilaian kinerja seringkali dilakukan setahun sekali dan fokus pada evaluasi akhir tanpa banyak umpan balik yang berkelanjutan. Generasi muda mengharapkan penilaian kinerja yang lebih transparan, adil, dan berkelanjutan. Mereka ingin mendapatkan umpan balik secara reguler agar dapat terus berkembang dan meningkatkan kemampuan mereka. Percakapan yang terbuka antara manajer dan karyawan tentang tujuan, harapan, dan area pengembangan dianggap lebih efektif daripada sekadar laporan penilaian tahunan. Teknologi juga memungkinkan adanya feedback yang lebih sering dan informal melalui berbagai platform.
6. Mengandalkan Pertemuan Tatap Muka untuk Segala Hal
Meskipun interaksi tatap muka penting, di era 90-an, hampir semua diskusi dan pengambilan keputusan dilakukan melalui pertemuan fisik. Hal ini seringkali memakan waktu dan kurang efisien, terutama jika melibatkan banyak pihak dengan jadwal yang berbeda. Generasi muda yang terbiasa dengan kecepatan dan efisiensi teknologi lebih memilih memanfaatkan berbagai alat komunikasi daring untuk diskusi dan kolaborasi. Pertemuan tatap muka dianggap lebih efektif untuk hal-hal yang membutuhkan interaksi personal yang mendalam atau pengambilan keputusan strategis, namun untuk urusan sehari-hari, komunikasi daring dianggap lebih praktis dan hemat waktu.
7. Kurangnya Kesadaran akan Dampak Pekerjaan pada Kehidupan Pribadi
Batasan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi seringkali kabur di era 90-an. Email di luar jam kerja mungkin belum terlalu umum, namun ekspektasi untuk selalu “siaga” dan merespons urusan pekerjaan kapan saja seringkali ada. Generasi muda sangat menghargai batasan yang jelas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Mereka percaya bahwa memiliki waktu untuk bersantai, mengejar hobi, dan menghabiskan waktu dengan orang-orang terkasih adalah hal yang penting untuk menjaga keseimbangan hidup dan mencegah burnout. Mereka lebih memilih perusahaan yang menghormati waktu pribadi karyawan dan tidak mengharapkan mereka untuk selalu terhubung dengan pekerjaan di luar jam kerja yang ditentukan.
Pergeseran pandangan generasi muda terhadap kebiasaan kerja era 90-an mencerminkan evolusi dalam pemahaman tentang produktivitas, kesejahteraan, dan efisiensi. Fokus kini lebih tertuju pada hasil yang berkualitas, keseimbangan hidup yang sehat, komunikasi yang efektif, dan lingkungan kerja yang mendukung. Perusahaan yang mampu beradaptasi dengan perubahan ini dan mengadopsi praktik kerja yang lebih modern dan sesuai dengan nilai-nilai generasi muda akan lebih mampu menarik dan mempertahankan talenta terbaik di era digital ini. Tren ini bukan hanya tentang preferensi pribadi, tetapi juga tentang menciptakan budaya kerja yang lebih berkelanjutan dan manusiawi.
