Teknologi yang Menguras Mental, Benarkah Penyebab Burnout?
harmonikita.com – Teknologi yang menguras mental, sebuah frasa yang mungkin sangat akrab di telinga kita belakangan ini. Rasanya, semakin canggih gawai di tangan, semakin kencang pula hidup ini berlari, seringkali meninggalkan kita dalam keadaan lelah fisik dan batin. Tapi, benarkah teknologi adalah satu-satunya kambing hitam di balik fenomena burnout yang makin marak? Mari kita selami lebih dalam.
Tidak bisa dimungkiri, di era serba digital seperti sekarang, kita hampir tak terpisahkan dari layar. Mulai dari bangun tidur, notifikasi media sosial dan pesan masuk sudah antre minta diperhatikan. Di kantor, laptop dan berbagai software jadi teman setia. Pulang ke rumah pun, hiburan atau komunikasi seringkali kembali lewat layar smartphone atau televisi pintar. Siklus ini berulang setiap hari, menciptakan lingkungan “always-on” yang sulit dihindari.
Banyak dari kita mulai merasa ada beban tak kasat mata yang menempel akibat interaksi konstan ini. Ada perasaan cemas kalau ketinggalan berita terbaru (FOMO – Fear of Missing Out), tekanan untuk selalu merespons cepat, hingga perbandingan tak henti-hentinya dengan kehidupan orang lain yang tampak “sempurna” di media sosial. Semua ini perlahan tapi pasti, terasa seperti menggerogoti energi mental.
Mengapa Teknologi Terasa Begitu Menguras?
Pertama, mari kita telaah bagaimana teknologi modern memengaruhi kita.
1. Gempuran Notifikasi yang Tak Pernah Usai
Setiap ding atau getaran dari ponsel adalah permintaan perhatian kecil. Awalnya mungkin hanya satu dua, tapi bayangkan puluhan atau bahkan ratusan notifikasi dalam sehari dari berbagai aplikasi – email, WhatsApp, Instagram, Twitter, berita, game, dan lain-lain. Otak kita secara tidak sadar terus-menerus beralih fokus, memecah konsentrasi dan menciptakan rasa urgensi buatan. Kondisi ini dikenal sebagai attention residue, di mana sebagian otak masih memproses informasi sebelumnya saat kita sudah beralih ke tugas berikutnya, mengurangi efisiensi dan meningkatkan kelelahan mental.
2. Batas Antara Kerja dan Kehidupan Pribadi yang Makin Kabur
Smartphone dan akses internet kecepatan tinggi memungkinkan kita bekerja dari mana saja, kapan saja. Ini bisa jadi keuntungan fleksibilitas, tapi seringkali berubah menjadi kutukan. Email pekerjaan masuk di akhir pekan, grup chat kantor ramai di malam hari, atau permintaan mendadak yang harus diselesaikan sekarang juga. Garis batas antara jam kerja dan jam pribadi menjadi sangat tipis, bahkan menghilang. Akibatnya, kita merasa sulit off sepenuhnya, tidak ada waktu istirahat yang benar-benar memulihkan. Tubuh dan pikiran kita terus berada dalam mode siaga.
3. Kurva Perbandingan di Media Sosial
Media sosial menampilkan highlight reel kehidupan orang lain. Kita melihat pencapaian mereka, liburan mewah, kebahagiaan yang dipamerkan, atau karier yang tampaknya mulus. Sangat mudah untuk jatuh ke dalam perangkap perbandingan dan merasa diri kurang, tidak cukup sukses, atau tertinggal. Kurva perbandingan sosial ini bisa memicu kecemasan, rasa tidak aman, dan menurunkan harga diri, yang semuanya berkontribusi pada stres dan kelelahan emosional. Konten yang terus bergulir tanpa henti juga menciptakan siklus konsumsi pasif yang memakan waktu dan energi tanpa memberikan kepuasan mendalam.
4. Informasi Berlebihan (Information Overload)
Dengan akses ke internet, kita dibanjiri informasi dari segala penjuru dunia setiap detik. Berita terbaru, tren viral, pengetahuan baru, opini yang berbeda-beda – semuanya tersedia di ujung jari. Meskipun ini luar biasa untuk pembelajaran dan konektivitas, terlalu banyak informasi sekaligus bisa membanjiri kemampuan otak kita untuk memproses dan mencernanya. Kondisi ini dikenal sebagai information overload atau infobesity, yang dapat menyebabkan kebingungan, kesulitan membuat keputusan, dan kelelahan mental. Kita merasa terus-menerus harus mengikuti, padahal kapasitas mental kita terbatas.