Teknologi yang Menguras Mental, Benarkah Penyebab Burnout?
4. Gejala Fisik yang Tidak Bisa Dijelaskan
Burnout seringkali memanifestasikan diri dalam bentuk fisik seperti sakit kepala tegang, gangguan tidur (sulit memulai tidur, terbangun di malam hari, atau tidur berlebihan tapi tetap lelah), masalah pencernaan, atau nyeri otot. Paparan layar biru sebelum tidur dan kecemasan yang dipicu oleh notifikasi atau konten online jelas berperan dalam gangguan tidur ini.
5. Mudah Tersinggung atau Iritasi
Kesabaran menipis, mudah marah pada hal-hal kecil, atau merasa lebih emosional dari biasanya. Stres kronis akibat “always-on” culture dan tuntutan digital bisa membuat sistem saraf kita terus dalam keadaan tegang, menjadikan kita lebih reaktif terhadap stresor kecil.
Data dan fakta juga mendukung hubungan antara penggunaan teknologi berlebihan dan kesehatan mental. Banyak penelitian menunjukkan korelasi antara waktu layar yang berlebihan, terutama di kalangan remaja dan dewasa muda, dengan peningkatan risiko stres, kecemasan, depresi, dan ya, gejala burnout. Sebuah laporan global tahun 2023 misalnya, menyoroti bagaimana digital fatigue dan kesulitan memutus hubungan dari pekerjaan di luar jam kerja menjadi faktor signifikan dalam tingkat burnout di berbagai industri. Angka statistik terbaru dari survei kesehatan mental pun seringkali mencantumkan “tekanan digital” sebagai salah satu sumber stres utama yang dilaporkan oleh responden, terutama di kalangan profesional muda.
Menemukan Keseimbangan: Solusi di Tengah Gempuran Digital
Jika teknologi memang berkontribusi besar pada rasa lelah mental dan burnout, lalu apa yang bisa kita lakukan? Melarikan diri total dari teknologi rasanya tidak realistis di era ini. Jawabannya terletak pada menemukan keseimbangan dan mengambil kendali atas hubungan kita dengan teknologi.
1. Mengatur Batas yang Jelas (Digital Boundaries)
Ini adalah langkah krusial. Tentukan kapan kamu “aktif” secara digital untuk urusan pekerjaan atau hal-hal yang menuntut perhatian segera, dan kapan kamu “offline”. Misalnya, tetapkan jam-jam tertentu di malam hari atau di akhir pekan sebagai “zona bebas gawai” dari pekerjaan. Komunikasikan batas ini kepada rekan kerja atau atasan jika memungkinkan. Untuk penggunaan pribadi, batasi waktu di aplikasi yang paling menguras energimu. Banyak ponsel pintar sekarang memiliki fitur untuk melacak penggunaan aplikasi dan mengatur batas waktu harian. Manfaatkan itu!
2. Melakukan Detoks Digital Secara Berkala
Tidak harus ekstrem, tapi cobalah untuk secara sengaja menjauh dari layar sesekali. Bisa satu jam setiap hari, setengah hari di akhir pekan, atau bahkan beberapa hari saat liburan. Gunakan waktu ini untuk melakukan aktivitas offline yang kamu nikmati – membaca buku fisik, berolahraga, berkebun, bertemu teman tanpa gangguan ponsel, atau sekadar duduk tenang tanpa layar. Rasakan perbedaannya pada tingkat energimu.
3. Memilih Interaksi yang Berkualitas, Bukan Kuantitas
Alih-alih mencoba mengikuti setiap tren atau berinteraksi dengan semua orang di media sosial, fokuslah pada koneksi yang benar-benar penting dan bermakna. Habiskan waktu online untuk berinteraksi dengan teman dan keluarga terdekat, bergabung dengan komunitas yang positif, atau mempelajari hal baru. Jangan merasa terbebani untuk harus “ada” di semua platform atau merespons setiap pesan secara instan.
4. Mengelola Notifikasi dengan Bijak
Tidak semua notifikasi itu penting. Matikan notifikasi dari aplikasi yang tidak mendesak atau yang cenderung mengganggu konsentrasi (misalnya game, promosi toko online, sebagian besar media sosial). Pertimbangkan untuk menjadwalkan waktu khusus untuk memeriksa email atau pesan, daripada terus-menerus terinterupsi. Fitur “Do Not Disturb” atau mode fokus di ponsel bisa jadi penyelamat.