Psikolog Bongkar 9 Kalimat Tanda Seseorang Sedang Minta Tolong
Ketakutan Menjadi Beban
Ini mirip dengan poin tentang rasa bersalah, tetapi lebih fokus pada penghindaran. “Aku tidak mau merepotkan,” atau “Kamu pasti sibuk, aku tidak mau mengganggu,” adalah cara seseorang untuk menolak tawaran bantuan yang mungkin sudah kamu berikan, atau sebagai alasan untuk tidak meminta bantuan sejak awal. Di balik kalimat ini ada keyakinan kuat bahwa masalah mereka adalah “milik mereka sendiri” dan orang lain memiliki urusan yang lebih penting. Ini adalah sinyal bahwa mereka membutuhkan jaminan bahwa kamu bersedia mendengarkan dan membantu, dan bahwa mereka tidak merepotkan. Terkadang, meyakinkan seseorang bahwa kamu ingin membantu adalah langkah pertama yang sulit namun penting.
Perbandingan Diri yang Negatif
Ketika seseorang terus-menerus membandingkan diri mereka secara negatif dengan orang lain, ini bisa menjadi tanda harga diri yang rendah dan perasaan tidak berharga yang mendalam. “Lihat dia, sukses banget, beda sama aku,” atau “Aku kok begini-begini saja ya,” bukanlah sekadar observasi biasa. Ini mencerminkan pikiran-pikiran kritis internal yang menghancurkan. Mereka mungkin merasa tidak mampu, tidak cukup baik, dan putus asa akan kemampuan mereka untuk mencapai kebahagiaan atau kesuksesan. Kalimat-kalimat ini adalah indikasi bahwa mereka membutuhkan penguatan positif, pengingat akan kualitas dan pencapaian mereka, serta dukungan untuk membangun kembali kepercayaan diri mereka.
Kehilangan Minat dan Tujuan
Seseorang yang kehilangan minat pada aktivitas yang dulunya mereka nikmati, atau merasa hidupnya hampa dan tanpa tujuan, mungkin mengatakannya melalui frasa seperti, “Tidak ada gunanya melakukan apa pun,” atau “Aku tidak peduli lagi.” Ini adalah sinyal kuat dari anhedonia dan perasaan putus asa, gejala umum dari kondisi seperti depresi. Ketika seseorang kehilangan kemampuan untuk merasakan kesenangan atau makna dalam hidup, itu adalah indikator serius bahwa mereka membutuhkan dukungan profesional atau setidaknya seseorang yang bisa membantu mereka menemukan kembali percikan atau tujuan dalam kehidupan sehari-hari.
Berbicara Tentang Akhir (Dengan Sangat Hati-hati)
Ini adalah kategori yang paling serius dan memerlukan respons segera. Kalimat seperti, “Rasanya lebih baik aku tidak ada,” “Aku lelah dengan semuanya,” atau bahkan lelucon gelap tentang kematian atau mengakhiri hidup, jangan pernah dianggap remeh. Meskipun diucapkan dengan nada santai, ini adalah indikasi paling jelas dari pemikiran bunuh diri atau keinginan untuk mengakhiri penderitaan mereka. Jika kamu mendengar kalimat seperti ini, segera ambil tindakan. Tanyakan secara langsung namun penuh kasih, “Apakah kamu berpikir untuk menyakiti diri sendiri?” atau “Apakah kamu merasa ingin mengakhiri hidupmu?” Mendengar kalimat ini bukanlah saatnya untuk ragu atau takut menyinggung; ini adalah panggilan darurat untuk bantuan.
Apa yang Bisa Kita Lakukan? Kekuatan Hadir dan Mendengarkan
Mengenali sinyal-sinyal ini hanyalah langkah awal. Langkah selanjutnya adalah yang terpenting: bagaimana kita merespons? Reaksi pertama kita mungkin adalah panik, memberikan nasihat instan, atau bahkan mengabaikannya karena kita tidak yakin harus berbuat apa. Namun, seringkali, apa yang paling dibutuhkan bukanlah solusi instan, melainkan kehadiran yang tulus dan telinga yang mau mendengarkan.
Ketika kamu mendengar salah satu kalimat di atas dan merasa itu adalah sinyal tersembunyi, dekati orang tersebut dengan empati. Bukan dengan rasa kasihan, melainkan dengan keinginan untuk memahami. Tawarkan ruang aman bagi mereka untuk berbicara jika mereka mau, tanpa paksaan atau penghakiman. Kamu bisa memulai dengan kalimat seperti, “Aku mendengar apa yang kamu katakan, dan rasanya kamu sedang tidak baik-baik saja. Aku di sini jika kamu ingin bicara,” atau “Aku perhatikan kamu terlihat lelah/sedih akhir-akhir ini. Ada sesuatu yang ingin kamu ceritakan?”
Mendengarkan aktif adalah kunci di sini. Ini bukan sekadar mendengar kata-kata, melainkan memahami perasaan di baliknya. Berikan perhatian penuh, jaga kontak mata (jika nyaman), mengangguk untuk menunjukkan bahwa kamu mengikuti, dan hindari menyela. Biarkan mereka berbicara tanpa terburu-buru memberikan solusi atau membandingkan masalah mereka dengan masalahmu sendiri. Validasi perasaan mereka. Kalimat seperti, “Kedengarannya itu pasti berat,” atau “Aku bisa mengerti mengapa kamu merasa seperti itu,” bisa sangat berarti. Itu menunjukkan bahwa kamu mendengarkan dan menghargai apa yang mereka rasakan.
Jangan takut untuk menanyakan pertanyaan terbuka yang mendorong mereka untuk menjelaskan lebih lanjut, seperti, “Sejak kapan kamu merasa begini?” atau “Ada hal spesifik yang membebani pikiranmu saat ini?” Namun, hormati jika mereka belum siap untuk membuka diri sepenuhnya. Kehadiranmu saja sudah bisa menjadi dukungan yang signifikan. Kadang, sekadar mengetahui ada seseorang yang peduli sudah cukup untuk meringankan sedikit beban.
Selain mendengarkan, tawarkan bantuan spesifik. Alih-alih berkata “Beritahu aku jika ada yang bisa kubantu” (yang bisa terasa terlalu umum bagi seseorang yang sudah kewalahan), tawarkan bantuan yang lebih konkret, seperti, “Bagaimana kalau besok sore aku mampir bawakan makan malam?” atau “Apakah kamu butuh seseorang untuk menemanimu berjalan-jalan sebentar?” Tawaran yang spesifik lebih mudah diterima oleh seseorang yang sedang berjuang.
Penting juga untuk mengetahui kapan saatnya menyarankan bantuan profesional. Jika seseorang secara konsisten menunjukkan tanda-tanda depresi berat, kecemasan ekstrem, pikiran untuk menyakiti diri sendiri, atau tidak mampu berfungsi dalam kehidupan sehari-hari, keberanianmu untuk menyarankan mereka berbicara dengan terapis, konselor, atau psikolog bisa menjadi penyelamat. Kamu bisa berkata, “Apa yang kamu rasakan ini terdengar sangat sulit. Ada profesional yang terlatih untuk membantu orang melewati masa-masa seperti ini, mungkin akan sangat membantumu untuk berbicara dengan mereka.” Tawarkan bantuan untuk mencari kontak atau membuat janji jika memungkinkan.