Kok Dikit-Dikit Baper? Ini Fakta Psikologisnya

Kok Dikit-Dikit Baper? Ini Fakta Psikologisnya (www.freepik.com)

harmonikita.com – Zaman sekarang, rasanya kok gampang banget ya lihat teman atau bahkan diri sendiri jadi mudah tersentuh perasaannya? Istilah kerennya sih, “baper”. Mungkin kamu sering dengar celetukan, “Ah, dikit-dikit baperan!” Tapi, pernahkah kamu bertanya-tanya, kenapa sih fenomena ini seolah jadi makin umum? Ternyata, ada lho fakta psikologis yang melatarbelakanginya. Yuk, kita bahas lebih dalam!

Memahami Fenomena “Baper” di Kalangan Anak Muda

“Baper” atau bawa perasaan, memang identik dengan generasi muda. Tapi sebenarnya, semua orang dari berbagai usia bisa merasakannya. Hanya saja, mungkin ekspresinya yang berbeda. Di era media sosial yang serba cepat ini, informasi dan interaksi datang silih berganti tanpa henti. Hal ini secara tidak langsung memengaruhi kondisi psikologis kita, termasuk bagaimana kita merespons berbagai situasi dan informasi.

Apa Sih Sebenarnya yang Terjadi di Balik Emosi yang Mudah Tersentuh?

Ada beberapa faktor psikologis yang bisa menjelaskan kenapa seseorang jadi lebih mudah “baper”. Mari kita telaah satu per satu:

Pengaruh Dunia Digital dan Media Sosial

Nggak bisa dipungkiri, media sosial punya peran besar dalam membentuk emosi kita. Coba deh pikirkan, berapa banyak waktu yang kamu habiskan setiap hari untuk scrolling media sosial? Kita disuguhkan berbagai macam konten, mulai dari pencapaian teman, berita viral, hingga komentar-komentar dari orang yang bahkan tidak kita kenal.

Paparan informasi yang begitu masif ini bisa memicu berbagai macam emosi. Melihat teman pamer liburan bisa menimbulkan rasa iri atau fear of missing out (FOMO). Membaca komentar negatif, meskipun tidak ditujukan langsung pada kita, tetap bisa membuat hati terasa tidak nyaman. Algoritma media sosial yang cenderung menampilkan konten yang engaging (seringkali yang kontroversial atau emosional) juga turut andil dalam memicu reaksi emosional yang lebih sering.

Selain itu, interaksi di media sosial seringkali tidak memiliki nuansa tatap muka. Kita tidak bisa melihat ekspresi wajah atau mendengar intonasi suara secara langsung. Hal ini bisa menyebabkan misinterpretasi pesan. Sebuah kalimat sederhana yang mungkin maksudnya bercanda, bisa saja ditangkap berbeda dan membuat seseorang merasa tersinggung atau “baper”.

Stres dan Kecemasan Sebagai Pemicu Utama

Tekanan hidup di era modern ini juga semakin meningkat. Persaingan di dunia pendidikan, tuntutan karir, masalah percintaan, hingga ketidakpastian masa depan bisa menjadi sumber stres dan kecemasan. Ketika kita sedang dalam kondisi stres atau cemas, emosi kita cenderung menjadi lebih sensitif. Hal-hal kecil yang biasanya tidak terlalu kita perhatikan, bisa tiba-tiba terasa sangat mengganggu atau menyakitkan.

Menurut data dari Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) pada tahun 2023, terjadi peningkatan angka depresi dan kecemasan di kalangan remaja dan dewasa muda. Kondisi mental yang sedang tidak stabil ini tentu saja membuat seseorang menjadi lebih rentan terhadap perubahan suasana hati dan lebih mudah “baper”.

Karakteristik Kepribadian yang Lebih Sensitif

Setiap orang memiliki tingkat sensitivitas emosi yang berbeda-beda. Ada orang yang secara alami lebih peka terhadap perasaan diri sendiri maupun orang lain. Mereka cenderung lebih mudah merasakan empati, lebih dalam menghayati suatu peristiwa, dan lebih intens dalam merespons emosi.

Orang dengan tingkat sensitivitas yang tinggi bukanlah suatu kekurangan. Justru, mereka seringkali memiliki kelebihan dalam hal kreativitas, intuisi, dan kemampuan memahami orang lain. Namun, di sisi lain, mereka juga lebih rentan terhadap perasaan “baper” karena mereka memang lebih mudah tersentuh oleh berbagai macam stimulus emosional.

Pengalaman Masa Lalu dan Kaitannya dengan Emosi Saat Ini

Pengalaman-pengalaman di masa lalu, terutama pengalaman traumatis atau menyakitkan, bisa meninggalkan bekas yang mendalam pada psikologis seseorang. Luka batin yang belum sembuh bisa membuat seseorang menjadi lebih defensif dan lebih mudah “baper” terhadap situasi yang mengingatkannya pada pengalaman tersebut.

Misalnya, seseorang yang pernah mengalami penolakan di masa lalu mungkin akan menjadi lebih sensitif terhadap kritik atau penolakan di masa kini, meskipun situasinya berbeda. Respon emosional yang muncul mungkin terasa berlebihan bagi orang lain, namun hal ini bisa jadi merupakan mekanisme pertahanan diri yang dipicu oleh pengalaman masa lalu.

Empati: Pedang Bermata Dua?

Empati adalah kemampuan untuk memahami dan merasakan apa yang dirasakan orang lain. Ini adalah kualitas yang sangat positif dan penting dalam membangun hubungan sosial yang sehat. Namun, empati yang berlebihan juga bisa menjadi salah satu alasan kenapa seseorang jadi lebih mudah “baper”.

Ketika kita terlalu larut dalam emosi orang lain, kita bisa ikut merasakan kesedihan, kekecewaan, atau kemarahan mereka seolah-olah itu adalah emosi kita sendiri. Hal ini bisa membuat kita menjadi lebih mudah tersentuh dan terpengaruh oleh suasana hati orang lain.

Lalu, Bagaimana Cara Mengelola Emosi yang Terlalu Sensitif?

Meskipun “baper” terkadang dianggap sebagai sesuatu yang negatif, sebenarnya merasakan emosi adalah hal yang wajar dan manusiawi. Yang penting adalah bagaimana kita mengelola emosi tersebut agar tidak berlebihan dan tidak mengganggu kualitas hidup kita. Berikut beberapa tips yang bisa kamu coba:

Menerima dan Memahami Emosi Diri

Langkah pertama adalah belajar untuk menerima dan memahami setiap emosi yang muncul. Jangan berusaha untuk menekan atau menyangkal emosi tersebut. Cobalah untuk mengidentifikasi apa yang kamu rasakan, kenapa kamu merasakannya, dan apa yang bisa kamu pelajari dari emosi tersebut.

Misalnya, ketika kamu merasa sedih setelah melihat postingan teman di media sosial, jangan langsung menyalahkan diri sendiri atau merasa lemah. Coba tanyakan pada diri sendiri, “Kenapa aku merasa sedih? Apakah aku merasa iri? Apakah aku merasa kurang percaya diri?” Dengan memahami akar emosi tersebut, kamu akan lebih mudah untuk mengelolanya.

Membangun Batasan yang Sehat

Penting untuk menetapkan batasan yang sehat dalam berinteraksi dengan dunia luar, terutama di media sosial. Kamu punya hak untuk memilih informasi apa yang ingin kamu konsumsi dan interaksi seperti apa yang ingin kamu lakukan.

Jika kamu merasa terlalu terpengaruh oleh konten-konten negatif di media sosial, cobalah untuk mengurangi waktu yang kamu habiskan di platform tersebut. Kamu juga bisa memilih untuk tidak mengikuti akun-akun yang seringkali memicu emosi negatif. Selain itu, belajar untuk mengatakan “tidak” pada hal-hal yang membuatmu tidak nyaman juga merupakan bagian dari membangun batasan yang sehat.

Melatih Teknik Regulasi Emosi

Ada berbagai macam teknik regulasi emosi yang bisa kamu pelajari dan praktikkan. Beberapa di antaranya adalah:

  • Teknik Pernapasan: Ketika merasa overwhelmed oleh emosi, cobalah untuk menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan. Lakukan beberapa kali hingga kamu merasa lebih tenang.
  • Meditasi dan Mindfulness: Melatih meditasi dan mindfulness dapat membantu kamu untuk lebih fokus pada saat ini dan tidak terlalu larut dalam pikiran dan emosi negatif.
  • Aktivitas Fisik: Olahraga dapat membantu melepaskan endorfin, hormon yang dapat meningkatkan suasana hati.
  • Menulis Jurnal: Mencurahkan isi hati dan pikiran ke dalam jurnal bisa menjadi cara yang efektif untuk memproses emosi.
  • Mengalihkan Perhatian: Ketika merasa emosi mulai memuncak, cobalah untuk melakukan aktivitas lain yang kamu sukai untuk mengalihkan perhatian.

Mencari Dukungan yang Tepat

Jangan ragu untuk mencari dukungan dari orang-orang terdekatmu, seperti keluarga, teman, atau pasangan. Berbagi perasaan dengan orang yang kamu percaya bisa membantu meringankan beban emosionalmu. Jika kamu merasa kesulitan untuk mengelola emosi sendiri, jangan ragu untuk mencari bantuan profesional dari psikolog atau konselor. Mereka dapat memberikan panduan dan dukungan yang tepat untuk membantumu mengatasi masalah emosional.

Baper Bukanlah Aib, Tapi Peluang untuk Mengenal Diri Lebih Dalam

Jadi, kenapa kok dikit-dikit baper? Ternyata, ada banyak faktor psikologis yang bisa menjelaskannya, mulai dari pengaruh media sosial, stres, karakteristik kepribadian, hingga pengalaman masa lalu. “Baper” bukanlah sesuatu yang memalukan atau harus disembunyikan. Justru, ini bisa menjadi sinyal dari tubuh dan pikiran kita bahwa ada sesuatu yang perlu diperhatikan.

Dengan memahami akar permasalahan dan belajar cara mengelola emosi dengan baik, kita bisa menjadikan “baper” sebagai peluang untuk lebih mengenal diri sendiri, membangun ketahanan mental, dan meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan. Ingatlah, setiap emosi itu valid dan memiliki pesan tersendiri. Jadi, jangan takut untuk merasakannya, tapi juga jangan lupa untuk mengelolanya dengan bijak.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *