Media Sosial: Pembunuh Mental Gen Z yang Tak Terlihat (www.freepik.com)
harmonikita.com – Generasi Z, atau yang akrab disapa Gen Z, seringkali dianggap sebagai generasi yang tumbuh dengan gadget di tangan dan filter di wajah. Namun, di balik layar ponsel pintar dan unggahan media sosial yang ciamik, tersembunyi berbagai keresahan mendalam yang sayangnya, tak jarang dianggap remeh oleh generasi sebelumnya. Mari kita telaah lebih dalam beberapa keluhan utama mereka yang mungkin terdengar sepele, padahal menyimpan beban psikologis dan sosial yang signifikan.
Tekanan Media Sosial: Antara Eksistensi dan Kesehatan Mental yang Terancam
Salah satu keluhan paling sering dilontarkan oleh Gen Z adalah tekanan media sosial untuk selalu tampil sempurna. Di era digital ini, media sosial bukan hanya menjadi sarana komunikasi, tetapi juga panggung untuk membangun citra diri. Setiap unggahan, mulai dari foto liburan hingga pencapaian kecil, seolah menjadi representasi nilai diri. Akibatnya, muncul kecemasan berlebihan untuk mendapatkan validasi berupa likes dan komentar, yang pada akhirnya dapat mengikis kesehatan mental.
Bayangkan, setiap hari kamu dihadapkan pada kurasi kehidupan orang lain yang tampak begitu ideal. Liburan mewah, pencapaian karier gemilang, hubungan romantis yang harmonis—semuanya tersaji dalam bingkai foto dan video yang menawan. Tanpa disadari, hal ini dapat memicu perbandingan sosial yang tidak sehat, menumbuhkan perasaan insecure, dan bahkan depresi. Sebuah studi yang dilakukan oleh Royal Society for Public Health di Inggris menunjukkan bahwa media sosial berkorelasi dengan peningkatan angka kecemasan dan depresi pada remaja dan dewasa muda. Fenomena fear of missing out (FOMO) juga menjadi momok tersendiri, membuat Gen Z merasa tertinggal jika tidak terus-menerus mengikuti tren dan aktivitas di dunia maya.
Tekanan ini diperparah dengan budaya cancel culture yang marak di media sosial. Kesalahan kecil atau pendapat yang berbeda dapat dengan cepat menjadi viral dan berujung pada hujatan massal, yang tentu saja dapat meninggalkan trauma psikologis yang mendalam. Bagi Gen Z, media sosial adalah pedang bermata dua: di satu sisi menjadi wadah ekspresi dan koneksi, namun di sisi lain menyimpan potensi besar untuk melukai kesehatan mental.
Jurang Keterampilan: Ketika Pendidikan Tak Sejalan dengan Realita Dunia Kerja
Keluhan lain yang seringkali membuat Gen Z frustrasi adalah ketidaksesuaian antara keterampilan yang dipelajari di bangku pendidikan dengan tuntutan dunia kerja. Mereka merasa telah menghabiskan waktu dan biaya untuk menimba ilmu, namun ketika lulus, mereka dihadapkan pada realitas bahwa keterampilan yang mereka miliki kurang relevan atau tidak aplikatif.
Perkembangan teknologi yang pesat mengubah lanskap pekerjaan dengan sangat cepat. Profesi-profesi baru bermunculan, sementara beberapa pekerjaan lama mulai tergantikan oleh otomatisasi. Sistem pendidikan yang cenderung kaku dan lambat beradaptasi seringkali gagal membekali Gen Z dengan keterampilan-keterampilan krusial yang dibutuhkan di era digital ini, seperti critical thinking, problem-solving, digital literacy, dan kemampuan beradaptasi.
Akibatnya, banyak lulusan baru dari Gen Z yang merasa tidak percaya diri dan kesulitan untuk bersaing di pasar kerja. Mereka terpaksa mengambil kursus tambahan atau belajar secara otodidak untuk mengejar ketertinggalan. Situasi ini tentu menimbulkan frustrasi dan kekecewaan, mengingat ekspektasi mereka terhadap pendidikan yang seharusnya menjadi jembatan menuju kesuksesan karier. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2024 menunjukkan bahwa tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada kelompok usia 15-24 tahun masih menjadi yang tertinggi dibandingkan kelompok usia lainnya, mengindikasikan adanya permasalahan dalam penyerapan tenaga kerja muda.
Terjebak dalam Lingkaran Finansial: Biaya Hidup Tinggi dan Peluang Terbatas
Ketergantungan finansial menjadi momok menakutkan bagi sebagian besar Gen Z. Mereka tumbuh di tengah ketidakstabilan ekonomi global, dengan biaya hidup yang terus meningkat, terutama di kota-kota besar. Harga properti yang melambung tinggi, biaya pendidikan yang mahal, dan upah yang stagnan membuat impian untuk mandiri secara finansial terasa semakin jauh.
Banyak Gen Z yang terpaksa menunda pernikahan, membeli rumah, atau bahkan sekadar memiliki tabungan yang cukup. Mereka harus bekerja serabutan atau bergantung pada bantuan orang tua di usia yang seharusnya sudah produktif. Fenomena sandwich generation juga mulai menghantui sebagian Gen Z yang harus menanggung biaya hidup diri sendiri sekaligus membantu orang tua yang memasuki usia senja.
Keterbatasan kesempatan kerja yang layak dengan upah yang sesuai juga menjadi faktor pemberat. Persaingan yang ketat di pasar kerja memaksa banyak lulusan baru untuk menerima pekerjaan dengan gaji di bawah standar atau bahkan pekerjaan yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan mereka. Hal ini tentu saja berdampak pada motivasi dan kesejahteraan finansial mereka dalam jangka panjang.
Kesehatan Mental Bukan Lagi Tabu: Namun Apakah Didengarkan?
Gen Z adalah generasi yang lebih terbuka dan sadar akan pentingnya kesehatan mental. Mereka tidak lagi menganggap isu ini sebagai sesuatu yang tabu untuk dibicarakan. Namun, keterbukaan ini seringkali tidak diimbangi dengan pemahaman dan dukungan yang memadai dari generasi lain.
Banyak Gen Z yang merasa keluhan mereka terkait kesehatan mental, seperti kecemasan, depresi, atau burnout, dianggap sebagaiDrama berlebihan atau kurangnya mental yang kuat. Padahal, tekanan hidup di era modern dengan segala kompleksitasnya, ditambah dengan tekanan media sosial dan ketidakpastian masa depan, dapat memberikan dampak yang signifikan pada kesehatan mental mereka.
Kurangnya akses terhadap layanan kesehatan mental yang terjangkau dan stigma yang masih melekat di masyarakat juga menjadi kendala bagi Gen Z untuk mendapatkan bantuan yang mereka butuhkan. Padahal, investasi pada kesehatan mental generasi muda adalah investasi pada masa depan bangsa. Data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan bahwa gangguan mental menyumbang sebagian besar beban penyakit global pada kelompok usia muda.
Kecemasan akan Masa Depan: Bumi yang Tak Pasti dan Ekonomi yang Rawan
Kekhawatiran akan masa depan menjadi beban psikologis yang berat bagi Gen Z. Mereka menyaksikan secara langsung dampak perubahan iklim, ketidakstabilan ekonomi global, dan berbagai isu geopolitik yang mengancam keberlangsungan hidup di planet ini.
Isu-isu seperti pemanasan global, polusi lingkungan, dan krisis sumber daya alam bukan lagi sekadar berita di televisi, tetapi menjadi ancaman nyata bagi masa depan mereka. Ketidakpastian ekonomi, inflasi, dan potensi resesi juga menimbulkan kecemasan akan stabilitas finansial dan kesempatan kerja di masa depan.
Perasaan tidak memiliki kontrol atas masa depan ini dapat memicu stres, kecemasan, dan perasaan tidak berdaya. Gen Z merasa mewarisi masalah-masalah besar yang tidak mereka ciptakan, namun harus mereka hadapi dan selesaikan. Suara mereka dalam isu-isu ini seringkali dianggap naif atau idealis, padahal mereka memiliki hak untuk merasa khawatir dan menuntut perubahan yang lebih baik.
Membangun Jembatan Empati: Mendengarkan Tanpa Meremehkan
Penting untuk diingat bahwa setiap generasi tumbuh dalam konteks sejarah, sosial, dan ekonomi yang berbeda, yang membentuk nilai-nilai dan perspektif mereka. Meremehkan keluhan Gen Z hanya akan memperlebar jurang pemisah antar generasi dan menghambat komunikasi yang konstruktif.
Mencoba memahami perspektif Gen Z, mendengarkan keluh kesah mereka tanpa menghakimi, dan mengakui validitas perasaan mereka adalah langkah awal untuk membangun jembatan empati. Generasi sebelumnya dapat memberikan dukungan, bimbingan, dan berbagi pengalaman hidup yang berharga. Sementara itu, Gen Z juga perlu belajar untuk menghargai pengalaman dan kebijaksanaan generasi sebelumnya.
Dengan saling memahami dan menghormati, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan suportif bagi semua generasi. Keluhan Gen Z bukanlah sekadar rengekan anak muda, tetapi cerminan dari tantangan kompleks yang mereka hadapi di era modern ini. Mari kita dengarkan, pahami, dan bersama-sama mencari solusi untuk masa depan yang lebih baik.
