Stop Pola Asuh Anak Manja! Anak Butuh Belajar Susah
harmonikita.com – Di era serba cepat dan kompetitif seperti sekarang, rasanya wajar jika kita ingin memastikan anak-anak kita punya jalan yang mulus. Kita, sebagai orang tua, kadang terdorong untuk menjadi “orang tua super,” yang selalu siap menyingkirkan setiap kerikil di jalan mereka, membukakan semua pintu, dan memastikan mereka tidak pernah merasakan yang namanya belajar susah. Niatnya baik, tentu saja dengan pola asuh anak untuk melindungi, mencintai, memberikan yang terbaik. Tapi sadarkah kita, bahwa justru “kemudahan” yang kita berikan ini, dalam jangka panjang, mungkin sedang merampas kesempatan berharga mereka untuk tumbuh menjadi pribadi yang tangguh?
Tekanan sosial seolah menuntut kita untuk menampilkan citra keluarga sempurna, anak berprestasi tanpa cela, dan orang tua yang selalu ada untuk “menyelesaikan masalah” anak. Kita melihat orang tua lain mendaftarkan anak ke segudang kursus, mengintervensi setiap konflik kecil di taman bermain, bahkan mungkin ikut mengerjakan tugas sekolah demi nilai sempurna. Perlahan, kita mungkin tergelincir ke dalam pola asuh yang dikenal sebagai helicopter parenting (selalu hovering di atas anak) atau snowplow parenting (menyingkirkan semua rintangan di depan anak). Gaya asuh ini mungkin terasa meyakinkan di awal, memberi rasa aman karena kita merasa “mengontrol” segalanya demi kebaikan mereka. Namun, mari kita lihat lebih dalam dampak jangka panjangnya.
Jadi “Orang Tua Super” Itu Seperti Apa, Sih?
Bukan berarti tidak perhatian atau tidak peduli, ya. Menjadi “orang tua super” dalam konteks ini merujuk pada kecenderungan untuk pola asuh anak terlalu banyak terlibat dalam setiap aspek kehidupan anak, terutama dalam hal mengatasi kesulitan. Ini bisa bermanifestasi dalam berbagai bentuk:
Terlalu Cepat Datang Menyelamatkan
Bayangkan skenario ini: anak Anda lupa membawa bekal ke sekolah. Reaksi spontan mungkin langsung buru-buru mengantar bekal itu ke sekolah, menyelamatkan anak dari rasa lapar atau malu. Atau, saat anak kesulitan mengerjakan soal matematika, kita langsung memberikan jawaban atau cara penyelesaiannya tanpa memberinya waktu untuk berpikir atau mencoba sendiri. Ini seperti memadamkan api kecil sebelum anak sempat belajar cara meniupnya atau mencari air.
Menghindari Kegagalan Anak Mati-Matian
Nilai jelek di ulangan? Langsung protes ke guru. Kalah dalam kompetisi olahraga? Menyalahkan pelatih atau teman satu tim. Tidak lolos audisi? Mencari alasan di luar diri anak. Kita cenderung ingin anak kita selalu berhasil, selalu menang, selalu “sempurna” di mata orang lain (dan di mata kita sendiri). Akibatnya, kita berusaha keras mencegah mereka merasakan kekecewaan, penolakan, atau kegagalan.
Membuat Segala Keputusan untuk Anak
Dari mulai baju apa yang harus dipakai, ekskul apa yang harus diikuti, sampai memilih teman. Orang tua super kadang merasa tahu yang terbaik untuk anak dalam segala hal, sehingga membatasi ruang anak untuk memilih, mencoba, dan belajar dari konsekuensi pilihannya sendiri. Ini seperti mengendarai mobil dan tidak pernah membiarkan anak memegang kemudi, bahkan saat mobil berhenti.
Kenapa Terlalu Mudah Itu Justru Merusak? Dampak Negatif Over-Parenting
Memberikan “kemudahan” berlebihan mungkin terasa seperti hadiah, padahal tanpa sadar, pola asuh anak ini sedang menanam bom waktu bagi perkembangan mereka. Anak-anak yang terlalu sering diselamatkan dari kesulitan akan kehilangan kesempatan emas untuk membangun keterampilan hidup yang krusial.
Anak Jadi “Rapuh” Saat Menghadapi Masalah
Resiliensi atau ketahanan mental itu seperti otot. Ia hanya bisa tumbuh dan kuat jika dilatih. Ketika anak tidak pernah dibiarkan menghadapi masalah kecil sendiri, otot resiliensi ini tidak akan berkembang. Saat nanti dihadapkan pada masalah yang lebih besar di masa remaja atau dewasa – seperti konflik di pertemanan, kesulitan akademis yang nyata, atau tantangan di dunia kerja – mereka akan merasa kewalahan, mudah menyerah, cemas, atau bahkan depresi karena tidak punya “bekal” pengalaman dalam mengatasi kesulitan. Mereka tidak tahu bagaimana rasanya jatuh dan bangun lagi.