Tantrum Bukan Drama: Teriakan Anak Itu Teriakan Hati!
harmonikita.com – Mungkin kamu pernah melihatnya di supermarket, di taman bermain, atau bahkan di rumah sendiri: seorang anak kecil yang tiba-tiba berguling-guling di lantai sambil menangis histeris. Reaksi spontan orang dewasa sering kali adalah menganggapnya sebagai drama, mencari perhatian, atau bahkan anak yang tidak sopan. Namun, tahukah kamu bahwa di balik teriakan anak saat tantrum itu, ada luapan emosi yang jauh lebih kompleks dari sekadar “drama”? Mari kita telaah lebih dalam dan melihat tantrum dari sudut pandang yang lebih empatik.
Memahami Lebih Dalam: Apa Itu Tantrum?
Tantrum adalah ledakan emosi yang kuat pada anak-anak, biasanya terjadi antara usia 1 hingga 4 tahun. Di usia ini, kemampuan verbal anak untuk mengungkapkan perasaan dan keinginannya masih sangat terbatas. Ketika mereka merasa frustrasi, marah, sedih, atau kewalahan, tantrum menjadi salah satu cara mereka berkomunikasi. Alih-alih melihatnya sebagai kenakalan semata, kita perlu memahami bahwa tantrum adalah sinyal bahwa anak sedang mengalami kesulitan mengelola emosinya.
Otak anak usia dini masih dalam tahap perkembangan, terutama bagian prefrontal cortex yang bertanggung jawab untuk regulasi emosi, perencanaan, dan pengendalian diri. Area ini belum sepenuhnya matang, sehingga anak-anak belum memiliki kemampuan yang sama dengan orang dewasa dalam menenangkan diri atau mengekspresikan kekecewaan secara konstruktif. Jadi, ketika mereka dihadapkan pada situasi yang membuat mereka tidak nyaman atau tidak mendapatkan apa yang mereka inginkan, ledakan emosi seperti tantrum menjadi respons yang wajar.
Pemicu Tantrum: Lebih dari Sekadar Permintaan yang Tak Terpenuhi
Memang benar, penolakan terhadap permintaan anak bisa menjadi salah satu pemicu tantrum. Namun, pemicunya jauh lebih beragam dan sering kali tidak kita sadari. Beberapa faktor yang dapat memicu tantrum antara lain:
- Kelelahan: Anak yang kurang tidur cenderung lebih mudah rewel dan sulit mengendalikan emosinya.
- Rasa Lapar: Kadar gula darah yang rendah dapat membuat anak menjadi lebih sensitif dan mudah marah.
- Overstimulasi: Lingkungan yang terlalu ramai, bising, atau penuh dengan rangsangan visual dapat membuat anak kewalahan dan memicu tantrum.
- Perubahan Rutinitas: Anak-anak merasa aman dan nyaman dengan rutinitas yang terprediksi. Perubahan mendadak dapat membuat mereka merasa tidak aman dan memicu tantrum.
- Ketidakmampuan Berkomunikasi: Ketika anak belum mampu mengungkapkan apa yang mereka rasakan atau inginkan dengan kata-kata, frustrasi dapat meluap dalam bentuk tantrum.
- Perasaan Tidak Berdaya: Anak-anak sering kali merasa tidak memiliki kontrol atas lingkungan dan kehidupan mereka. Tantrum bisa menjadi cara mereka untuk mengekspresikan rasa tidak berdaya ini.
- Meniru Orang Tua: Tanpa disadari, anak-anak juga belajar cara mengekspresikan emosi dari orang-orang di sekitarnya. Jika orang tua sering menunjukkan ledakan emosi, anak mungkin menirunya.
Bagaimana Seharusnya Kita Merespons? Empati adalah Kunci
Ketika anak sedang tantrum, respons pertama kita sebagai orang dewasa sangat krusial. Alih-alih marah, menghukum, atau mencoba menghentikannya secara paksa, pendekatan yang lebih efektif adalah dengan menunjukkan empati dan mencoba memahami apa yang sedang dirasakan anak. Berikut beberapa langkah yang bisa kita lakukan:
- Tetap Tenang: Ini mungkin sulit, tetapi kunci utama dalam menghadapi tantrum adalah menjaga ketenangan diri. Emosi kita yang stabil akan membantu anak merasa lebih aman dan cepat mereda.
- Akui Perasaannya: Katakan padanya bahwa kita melihat dia sedang marah atau sedih. Misalnya, “Aku tahu kamu kecewa karena tidak boleh bermain gadget sekarang.” Mengakui perasaannya akan membantu anak merasa dipahami.
- Berikan Ruang: Jika anak tidak membahayakan dirinya atau orang lain, berikan dia ruang untuk meluapkan emosinya. Jangan mencoba memeluk atau menenangkan secara fisik jika dia menolak. Kehadiran kita yang tenang sudah cukup menenangkan.
- Dengarkan Tanpa Menghakimi: Setelah anak mulai tenang, dengarkan apa yang membuatnya marah atau sedih. Hindari menyalahkan atau meremehkan perasaannya.
- Bantu Mengelola Emosi: Ajarkan anak cara-cara yang lebih sehat untuk mengungkapkan emosinya. Misalnya, dengan berbicara, menggambar, atau melakukan aktivitas fisik.
- Tetapkan Batasan dengan Konsisten: Penting untuk membedakan antara mengakui perasaan anak dan menuruti semua keinginannya. Tetapkan batasan yang jelas dan konsisten, tetapi sampaikan dengan cara yang penuh kasih sayang.
Tantrum Sebagai Peluang Belajar
Meskipun terasa melelahkan, tantrum sebenarnya adalah peluang bagi anak untuk belajar tentang emosi dan bagaimana cara mengelolanya. Dengan respons yang tepat dari orang dewasa, anak akan belajar bahwa perasaannya valid, bahwa ada cara yang lebih baik untuk mengungkapkan kekecewaan, dan bahwa dia dicintai dan didukung meskipun sedang marah.
Sebuah studi yang dipublikasikan dalam Journal of Child Psychology and Psychiatry menunjukkan bahwa anak-anak yang orang tuanya responsif dan empatik saat mereka tantrum cenderung memiliki kemampuan regulasi emosi yang lebih baik di kemudian hari. Ini menunjukkan betapa pentingnya peran kita dalam membimbing anak melewati masa-masa sulit ini.