Jangan Pernah Bilang ‘Saya Tidak Tahu’ Lagi! Ini Alasannya
harmonikita.com – Siapa di antara kita yang nggak pernah terjebak dalam situasi di mana kita ditanya sesuatu, dan respon otomatis yang keluar dari mulut adalah “Saya tidak tahu”? Rasanya seperti tombol darurat yang kita tekan saat otak nggak bisa loading cepat atau saat kita nggak yakin dengan jawabannya. Mudah, singkat, dan seringkali mengakhiri percakapan. Tapi, pernahkah terpikir, di balik kemudahan frase tiga kata itu, ada potensi besar yang terhenti? Ada kesempatan yang terlewat? Ya, benar sekali. Mengatakan “Saya tidak tahu” terlalu cepat dan tanpa diikuti langkah selanjutnya bisa jadi salah satu rem paling kuat dalam perjalanan pribadi dan profesional kita.
Dalam dunia yang bergerak super cepat ini, di mana informasi bertebaran di mana-mana dan kemampuan beradaptasi adalah kunci, sekadar menjawab “Saya tidak tahu” bisa mengirimkan sinyal yang kurang ideal. Sinyal apa? Mungkin sinyal ketidaksiapan, kurangnya rasa ingin tahu, atau bahkan terkesan pasif. Eits, tapi tunggu dulu. Artikel ini bukan tentang memaksa kita tahu segalanya (karena jelas itu nggak mungkin!). Ini tentang mengubah respon, mengubah mindset, dan membuka pintu-pintu baru hanya dengan sedikit penyesuaian pada cara kita merespons ketidaktahuan. Yuk, kita bedah kenapa frase ini perlu “direvisi” penggunaannya dan jurus-jurus ampuh apa yang bisa kita gunakan sebagai gantinya.
Mengapa “Saya Tidak Tahu” Saja Tidak Cukup?
Frase “Saya tidak tahu” itu ibarat titik koma dalam sebuah kalimat potensi. Ia menghentikan aliran, menutup kemungkinan eksplorasi lebih lanjut. Tentu, ada saatnya memang kita benar-benar tidak memiliki informasi. Itu wajar. Tidak ada manusia yang maha tahu. Masalahnya bukan pada ketidaktahuan itu sendiri, melainkan pada cara kita menyampaikannya dan apa yang kita lakukan setelahnya.
Bayangkan skenario ini: kamu sedang berkumpul dengan teman-teman atau rekan kerja, lalu muncul sebuah pertanyaan atau topik yang asing bagimu. Respon pertama adalah “Saya tidak tahu.” Obrolan pun mungkin langsung beralih ke topik lain, atau ada orang lain yang mengisi kekosongan itu. Selesai. Tidak ada lagi yang perlu dicari tahu, tidak ada lagi yang perlu dipelajari olehmu saat itu. Dalam skala kecil, ini mungkin terlihat sepele. Tapi bayangkan jika ini terjadi berulang kali dalam berbagai aspek kehidupan. Sedikit demi sedikit, kamu mungkin melewatkan kesempatan untuk:
- Belajar Hal Baru: Setiap pertanyaan yang muncul adalah undangan untuk belajar. Dengan menutupnya pakai “Saya tidak tahu”, kamu menolak undangan tersebut.
- Membangun Kredibilitas: Orang yang selalu siap mencari jawaban atau setidaknya menunjukkan usaha, cenderung dianggap lebih proaktif dan bisa diandalkan.
- Menciptakan Koneksi: Diskusi atau kolaborasi seringkali lahir dari proses mencari tahu jawaban bersama. “Saya tidak tahu” bisa jadi tembok pembatas.
- Mengembangkan Diri: Zona nyaman terbesar adalah saat kita merasa tidak perlu mencari tahu lebih jauh. Keluar dari zona ini dimulai dari mengakui ketidaktahuan dan berani melangkah untuk mengatasinya.
Jadi, isu utamanya bukan kejujuran bahwa kita tidak tahu, melainkan kesan yang ditimbulkan dan terhentinya proses pencarian serta pembelajaran. Ini tentang sikap terhadap ketidaktahuan itu sendiri. Apakah kita pasif menerima atau aktif mencari solusi?
Di Balik Kata “Saya Tidak Tahu”: Mungkin Ada Rasa Takut atau Ketidakpercayaan Diri?
Kadang, di balik respon cepat “Saya tidak tahu”, tersimpan alasan yang lebih dalam. Mungkin kita takut terlihat bodoh di depan orang lain jika mengakui ketidaktahuan. Mungkin kita khawatir akan diminta mencari tahu jika kita tidak langsung menutup pintu. Atau mungkin, kita memang belum terbiasa dengan ide bahwa mencari tahu itu bagian dari proses, bukan aib.
Masyarakat kita seringkali secara tidak langsung menuntut kita untuk “tahu segalanya” atau setidaknya terlihat seperti itu. Akibatnya, kita merasa tertekan dan memilih jalan pintas “Saya tidak tahu” untuk menghindari penilaian. Padahal, justru orang-orang yang sukses dan terus berkembang adalah mereka yang nyaman dengan ketidaktahuan saat ini tetapi memiliki rasa ingin tahu yang besar untuk mencari jawabannya. Mereka tahu bahwa ketidaktahuan adalah titik awal dari penemuan dan pembelajaran.
Ketidakpercayaan diri juga bisa jadi faktor. Kita mungkin merasa tidak mampu untuk memahami jawabannya meskipun diberi waktu untuk mencari. Perasaan ini wajar, tapi penting untuk disadari agar kita bisa mengatasinya. Mengganti “Saya tidak tahu” dengan alternatif yang lebih memberdayakan adalah salah satu cara untuk membangun kepercayaan diri secara bertahap. Setiap kali kita berhasil menemukan jawaban setelah sebelumnya tidak tahu, kita membuktikan pada diri sendiri bahwa kita mampu.