Perceraian Orang Tua di Usia Senja, Luka Buat Anak Dewasa 

Perceraian Orang Tua di Usia Senja, Luka Buat Anak Dewasa  (www.freepik.com)

harmonikita.com – Siapa sangka, fenomena perceraian orang tua saat tua atau yang sering disebut “grey divorce” atau “golden age divorce” ini makin marak terjadi. Mungkin di kepala kita, perceraian identik dengan pasangan muda yang baru merintis rumah tangga atau sedang dalam masa sulit membesarkan anak kecil. Tapi nyatanya, banyak pasangan yang sudah puluhan tahun menikah, anak-anak sudah besar dan mandiri, bahkan mungkin sudah punya cucu, justru memutuskan untuk berpisah. Dan tahukah kamu? Luka yang ditimbulkan dari perceraian di usia senja ini, seringkali justru paling dalam dirasakan oleh mereka yang sudah dewasa: anak-anaknya.

Kedengarannya ironis, ya? Anak-anak sudah ‘lepas’, sudah punya kehidupan sendiri, kenapa masih bisa begitu terpukul? Artikel ini akan menyelami lebih dalam mengapa dampak perceraian orang tua pada anak dewasa seringkali lebih kompleks dan menyakitkan dari yang dibayangkan, serta bagaimana kita bisa menghadapinya.

Bukan Sekadar Berakhirnya Pernikahan, Tapi Runtuhnya Fondasi yang Dikenal

Ketika orang tua kita yang sudah sepuh memutuskan untuk berpisah, ini bukan hanya tentang dua orang yang tidak lagi ingin bersama. Bagi kita, anak-anak mereka yang sudah dewasa, ini terasa seperti gempa bumi yang mengguncang fondasi keluarga yang selama ini kita kenal. Bayangkan, sejak kecil sampai kita dewasa dan membangun hidup sendiri, ‘keluarga’ dalam definisi kita selalu melibatkan kedua orang tua kita dalam satu unit. Entah itu dalam perayaan hari raya, acara keluarga besar, momen spesial seperti pernikahan kita, atau bahkan sekadar bayangan masa tua mereka yang akan dihabiskan bersama.

Fondasi ini mungkin tidak selalu sempurna, mungkin ada dinamika rumit di dalamnya, tapi itulah ‘rumah’ yang kita tinggali secara emosional. Perceraian di usia senja meruntuhkan gambaran itu. Gambaran liburan bareng anak cucu yang utuh, gambaran perayaan ulang tahun pernikahan emas, atau sekadar bayangan rumah masa kecil yang selalu ada kedua orang tua di dalamnya. Semua itu tiba-tiba sirna, digantikan dengan ketidakpastian dan keharusan untuk menata ulang peta keluarga.

Mengapa Anak Dewasa Merasa Lebih Terluka?

Ada beberapa alasan mendalam mengapa perceraian orang tua usia tua bisa menjadi pukulan berat bagi anak dewasa, bahkan melebihi kesedihan saat perceraian terjadi di usia kita masih kecil.

1. Kehilangan Bukan Hanya Orang Tua Bersatu, Tapi Juga Identitas Keluarga

Saat kita kecil, perceraian memang traumatis. Tapi sebagai anak, fokus utama kita mungkin pada kelangsungan hidup, di mana kita akan tinggal, sekolah, dan siapa yang akan mengurus kita. Saat dewasa, kebutuhan dasar itu sudah terpenuhi. Luka yang muncul lebih ke arah eksistensial dan identitas. Kita kehilangan definisi ‘keluarga inti’ yang sudah puluhan tahun tertanam. Ini bisa mengguncang rasa aman dan stabilitas, meskipun kita sudah punya keluarga sendiri. Keluarga asal adalah jangkar, dan ketika jangkar itu goyah, kita pun merasa limbung.

2. Beban Emosional dan Logistik yang Tak Terduga

Perceraian orang tua di usia lanjut seringkali memunculkan beban baru. Kita mungkin merasa harus memilih pihak, menjadi tempat curhat salah satu atau kedua orang tua, atau bahkan menjadi penengah. Beban emosional ini sangat menguras energi. Selain itu, ada beban logistik. Siapa yang akan membantu mereka pindah? Mengatur keuangan yang terpisah? Menemani ke pengacara atau pengadilan? Sebagai anak dewasa, seringkali kita yang menjadi garda terdepan untuk membantu orang tua menavigasi proses yang rumit ini, di tengah kesibukan dan tanggung jawab hidup kita sendiri.

3. Krisis Kepercayaan pada Institusi Pernikahan

Melihat orang tua yang sudah bersama begitu lama akhirnya berpisah bisa menimbulkan krisis kepercayaan pada institusi pernikahan itu sendiri. Apalagi jika kita sedang dalam pernikahan atau berencana menikah. Muncul pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu: “Jika cinta mereka yang sudah teruji waktu saja bisa berakhir, bagaimana dengan pernikahanku nanti?” Keraguan ini bisa menimbulkan kecemasan dan ketidakamanan dalam hubungan pribadi kita.

4. Duka atas Masa Lalu dan Masa Depan yang Berbeda

Perceraian di usia senja juga bisa memicu duka atas masa lalu. Mungkin kita baru menyadari bahwa selama ini orang tua kita menyimpan ketidakbahagiaan, dan gambaran masa kecil yang kita anggap harmonis ternyata menyimpan kerapuhan. Lebih dari itu, kita berduka atas masa depan yang berbeda dari bayangan. Tidak akan ada lagi acara keluarga besar yang melibatkan kedua orang tua kita duduk berdampingan, tidak ada lagi momen merayakan pencapaian anak cucu bersama dalam format keluarga yang utuh. Ini adalah kehilangan mimpi masa depan yang sudah lama kita genggam.

5. Merasa Diabaikan atau Diharapkan Menjadi Dewasa Seketika

Paradoksnya, karena kita sudah dewasa, seringkali orang tua atau orang di sekitar kita berasumsi kita ‘pasti kuat’ menghadapinya. “Kan sudah dewasa, beda kalau anak masih kecil,” begitu mungkin komentar yang kita dengar. Padahal, meskipun dewasa, kita tetaplah anak bagi mereka. Kebutuhan akan dukungan emosional, validasi perasaan, dan ruang untuk berduka tetap ada. Merasa perasaan kita diremehkan atau diharapkan langsung bisa ‘mengerti’ dan ‘menerima’ tanpa proses bisa sangat menyakitkan.

Data dan Fakta di Balik Fenomena “Grey Divorce”

Fenomena grey divorce bukan sekadar cerita satu dua keluarga. Data dari berbagai negara, termasuk tren yang mulai terlihat di Indonesia, menunjukkan peningkatan angka perceraian pada pasangan di atas usia 50 atau 60 tahun.

Mengapa ini terjadi? Ada beberapa faktor yang berkontribusi:

  • Ekspektasi Hidup Lebih Panjang: Orang hidup lebih lama sekarang. Menghabiskan 20-30 tahun lagi dalam pernikahan yang tidak bahagia terasa jauh lebih lama daripada jika harapan hidup lebih pendek.
  • Perubahan Peran Gender dan Ekspektasi: Khususnya bagi wanita, kemandirian finansial dan sosial di usia senja makin meningkat. Mereka mungkin merasa punya pilihan dan kekuatan untuk meninggalkan pernikahan yang sudah tidak memenuhi kebutuhan mereka.
  • “Empty Nest Syndrome”: Setelah anak-anak meninggalkan rumah, pasangan mungkin menyadari bahwa ikatan yang tersisa hanyalah ikatan sebagai orang tua. Ketika peran itu hilang, mereka menyadari tidak banyak lagi yang menyatukan mereka sebagai pasangan.
  • Perbedaan Prioritas di Usia Senja: Apa yang diinginkan seseorang di usia 20-an, 40-an, dan 60-an bisa sangat berbeda. Pasangan di usia senja mungkin menemukan bahwa tujuan hidup, minat, dan cara mereka ingin menghabiskan masa pensiun ternyata sudah tidak sejalan lagi.
  • Stigma Perceraian yang Berkurang: Meskipun masih ada, stigma terhadap perceraian, bahkan di usia lanjut, tidak sebesar dulu. Masyarakat makin terbuka terhadap pilihan individu untuk mencari kebahagiaan, meskipun itu berarti mengakhiri pernikahan jangka panjang.

Memahami konteks ini tidak lantas menghilangkan rasa sakit, tapi bisa membantu kita melihat gambaran yang lebih besar bahwa ini adalah fenomena sosial yang kompleks, bukan hanya kegagalan personal orang tua kita.

Menavigasi Gelombang Emosi dan Menemukan Titik Terang

Menghadapi orang tua cerai saat tua adalah sebuah perjalanan yang penuh liku. Tidak ada ‘cara benar’ untuk merasakannya, dan semua emosi yang muncul – dari sedih, marah, kecewa, bingung, hingga lega (jika situasi sebelumnya sangat buruk) – adalah valid.

Berikut adalah beberapa langkah yang bisa membantu kita menavigasi masa sulit ini:

1. Akui dan Validasi Perasaanmu

Langkah pertama dan terpenting adalah memberi ruang bagi diri sendiri untuk merasakan apa pun yang muncul. Jangan paksa diri untuk ‘kuat’ atau ‘baik-baik saja’ hanya karena sudah dewasa. Izinkan diri untuk berduka atas kehilangan fondasi keluarga yang dikenal. Menangis, marah dalam batas yang sehat, atau menulis jurnal bisa menjadi cara untuk memproses emosi ini. Ingat, perasaanmu valid.

2. Cari Sistem Pendukung

Kamu tidak harus melewati ini sendirian. Berbicara dengan saudara kandung (jika ada dan mereka juga terkena dampak), teman dekat yang suportif, atau pasangan bisa sangat membantu. Berbagi pengalaman bisa membuatmu merasa tidak sendirian dan mendapatkan perspektif lain. Jika terasa terlalu berat, jangan ragu untuk mencari bantuan profesional seperti terapis atau konselor. Mereka bisa menyediakan ruang aman untuk memproses trauma dan memberikan strategi koping yang sehat. Dampak psikologis anak dewasa akibat perceraian adalah hal nyata dan wajar untuk mencari bantuan.

3. Tetapkan Batasan yang Sehat

Ini adalah masa transisi bagi orang tuamu, dan mereka mungkin akan banyak bersandar padamu secara emosional. Penting untuk menetapkan batasan yang jelas demi kesehatan mentalmu sendiri. Kamu bisa mendengarkan dan mendukung, tapi kamu tidak bertanggung jawab untuk menjadi terapis mereka, menengahi setiap konflik, atau mengorbankan kebutuhanmu sendiri demi ‘membuat mereka bahagia’. Belajar berkata ‘tidak’ atau membatasi waktu curhat adalah langkah penting.

4. Fokus pada Keluarga dan Kehidupan Sendiri

Meskipun perceraian orang tua adalah peristiwa besar, penting untuk terus fokus pada kehidupanmu sendiri, pasanganmu (jika ada), dan anak-anakmu (jika ada). Jangan biarkan krisis orang tua sepenuhnya menguasai energimu. Terus rawat hubunganmu yang lain dan prioritaskan kesejahteraan keluargamu sendiri. Ini bukan egois, melainkan menjaga stabilitas diri dan unit keluarga yang kamu bangun.

5. Tata Ulang Hubungan dengan Masing-masing Orang Tua

Setelah perceraian, hubunganmu dengan ayah dan ibumu kemungkinan akan berubah. Mungkin ada masa penyesuaian untuk bertemu mereka secara terpisah, merencanakan liburan atau perayaan dua kali lipat, atau memahami dinamika baru. Beri waktu bagi diri sendiri dan orang tua untuk menemukan ritme baru ini. Fokus pada membangun hubungan individu yang kuat dengan masing-masing orang tua, terlepas dari hubungan mereka satu sama lain.

6. Maafkan (Dirimu dan Mereka)

Proses ini mungkin melibatkan banyak kemarahan dan kekecewaan, baik pada orang tua maupun pada situasi itu sendiri. Belajar memaafkan adalah proses yang panjang dan tidak linier. Maafkan orang tua atas rasa sakit yang mereka sebabkan, meskipun mereka melakukan itu demi kebahagiaan mereka sendiri. Dan yang tak kalah penting, maafkan dirimu sendiri jika ada rasa bersalah karena tidak ‘melihatnya datang’ atau merasa tidak cukup membantu. Kamu sudah melakukan yang terbaik.

Melihat ke Depan: Kekuatan yang Tumbuh dari Kerapuhan

Menghadapi perceraian orang tua di usia lanjut memang bukan hal mudah. Ada luka, kebingungan, dan masa penyesuaian yang panjang. Namun, seperti badai yang berlalu, ada pelajaran berharga yang bisa diambil. Pengalaman ini bisa mengajarkan kita tentang ketahanan diri, pentingnya komunikasi dalam hubungan, dan makna sejati dari keluarga – bahwa keluarga bisa mengambil banyak bentuk, dan cinta serta dukungan tidak selalu terikat pada struktur tradisional.

Ini juga bisa menjadi pengingat untuk tidak menunda kebahagiaan kita sendiri dan pentingnya merawat hubungan kita, baik dengan pasangan, anak, maupun diri sendiri. Mungkin ini adalah kesempatan untuk membangun hubungan yang lebih jujur dan mendalam dengan masing-masing orang tua secara individu, melepaskan ekspektasi lama, dan menerima mereka sebagai individu dengan perjalanan hidup mereka sendiri.

Pada akhirnya, orang tua cerai saat tua adalah peristiwa yang menyakitkan, terutama bagi anak dewasa. Namun, dengan mengakui rasa sakit itu, mencari dukungan, menetapkan batasan, dan memberi waktu bagi diri sendiri untuk beradaptasi, kita bisa melewati badai ini. Kita mungkin tidak bisa mengendalikan keputusan orang tua, tapi kita bisa mengendalikan bagaimana kita merespons dan memilih untuk menumbuhkan kekuatan dari kerapuhan yang ada. Kamu tidak sendirian dalam menghadapi ini, dan masa depan, meskipun berbeda dari yang dibayangkan, tetap menyimpan potensi untuk kebahagiaan dan kedamaian baru.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *