Kok Dikit-Dikit Baper? Ini Fakta Psikologisnya
harmonikita.com – Zaman sekarang, rasanya kok gampang banget ya lihat teman atau bahkan diri sendiri jadi mudah tersentuh perasaannya? Istilah kerennya sih, “baper”. Mungkin kamu sering dengar celetukan, “Ah, dikit-dikit baperan!” Tapi, pernahkah kamu bertanya-tanya, kenapa sih fenomena ini seolah jadi makin umum? Ternyata, ada lho fakta psikologis yang melatarbelakanginya. Yuk, kita bahas lebih dalam!
Memahami Fenomena “Baper” di Kalangan Anak Muda
“Baper” atau bawa perasaan, memang identik dengan generasi muda. Tapi sebenarnya, semua orang dari berbagai usia bisa merasakannya. Hanya saja, mungkin ekspresinya yang berbeda. Di era media sosial yang serba cepat ini, informasi dan interaksi datang silih berganti tanpa henti. Hal ini secara tidak langsung memengaruhi kondisi psikologis kita, termasuk bagaimana kita merespons berbagai situasi dan informasi.
Apa Sih Sebenarnya yang Terjadi di Balik Emosi yang Mudah Tersentuh?
Ada beberapa faktor psikologis yang bisa menjelaskan kenapa seseorang jadi lebih mudah “baper”. Mari kita telaah satu per satu:
Pengaruh Dunia Digital dan Media Sosial
Nggak bisa dipungkiri, media sosial punya peran besar dalam membentuk emosi kita. Coba deh pikirkan, berapa banyak waktu yang kamu habiskan setiap hari untuk scrolling media sosial? Kita disuguhkan berbagai macam konten, mulai dari pencapaian teman, berita viral, hingga komentar-komentar dari orang yang bahkan tidak kita kenal.
Paparan informasi yang begitu masif ini bisa memicu berbagai macam emosi. Melihat teman pamer liburan bisa menimbulkan rasa iri atau fear of missing out (FOMO). Membaca komentar negatif, meskipun tidak ditujukan langsung pada kita, tetap bisa membuat hati terasa tidak nyaman. Algoritma media sosial yang cenderung menampilkan konten yang engaging (seringkali yang kontroversial atau emosional) juga turut andil dalam memicu reaksi emosional yang lebih sering.
Selain itu, interaksi di media sosial seringkali tidak memiliki nuansa tatap muka. Kita tidak bisa melihat ekspresi wajah atau mendengar intonasi suara secara langsung. Hal ini bisa menyebabkan misinterpretasi pesan. Sebuah kalimat sederhana yang mungkin maksudnya bercanda, bisa saja ditangkap berbeda dan membuat seseorang merasa tersinggung atau “baper”.
Stres dan Kecemasan Sebagai Pemicu Utama
Tekanan hidup di era modern ini juga semakin meningkat. Persaingan di dunia pendidikan, tuntutan karir, masalah percintaan, hingga ketidakpastian masa depan bisa menjadi sumber stres dan kecemasan. Ketika kita sedang dalam kondisi stres atau cemas, emosi kita cenderung menjadi lebih sensitif. Hal-hal kecil yang biasanya tidak terlalu kita perhatikan, bisa tiba-tiba terasa sangat mengganggu atau menyakitkan.
Menurut data dari Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) pada tahun 2023, terjadi peningkatan angka depresi dan kecemasan di kalangan remaja dan dewasa muda. Kondisi mental yang sedang tidak stabil ini tentu saja membuat seseorang menjadi lebih rentan terhadap perubahan suasana hati dan lebih mudah “baper”.
Karakteristik Kepribadian yang Lebih Sensitif
Setiap orang memiliki tingkat sensitivitas emosi yang berbeda-beda. Ada orang yang secara alami lebih peka terhadap perasaan diri sendiri maupun orang lain. Mereka cenderung lebih mudah merasakan empati, lebih dalam menghayati suatu peristiwa, dan lebih intens dalam merespons emosi.
Orang dengan tingkat sensitivitas yang tinggi bukanlah suatu kekurangan. Justru, mereka seringkali memiliki kelebihan dalam hal kreativitas, intuisi, dan kemampuan memahami orang lain. Namun, di sisi lain, mereka juga lebih rentan terhadap perasaan “baper” karena mereka memang lebih mudah tersentuh oleh berbagai macam stimulus emosional.