Sering Merasa Bersalah Tanpa Alasan Jelas? Ternyata Karena 7 Pola Asuh Ini

Sering Merasa Bersalah Tanpa Alasan Jelas? Ternyata Karena 7 Pola Asuh Ini

2. Perbandingan dengan Orang Lain (atau Saudara Sendiri)

“Lihat tuh si Fulan/Fulanah, nilainya bagus terus/lebih nurut/lebih rajin!” Pernah mendengar kalimat perbandingan seperti ini? Membandingkan anak dengan saudara kandungnya, sepupu, teman, atau anak tetangga adalah cara yang (sayangnya) umum dilakukan orang tua untuk “memotivasi” atau menunjukkan “standar.” Namun, bagi anak, perbandingan ini mengirimkan pesan yang menyakitkan: kamu tidak dihargai apa adanya. Hargamu ditentukan seberapa baik kamu dibandingkan orang lain.

Anak yang dibesarkan dengan pola perbandingan ini seringkali tumbuh menjadi individu yang selalu merasa kurang, selalu cemas tentang posisi mereka di antara orang lain. Mereka merasa bersalah karena tidak bisa menjadi “seperti” orang yang dijadikan perbandingan. Mereka mungkin merasa iri atau benci terhadap orang yang dijadikan patokan, dan kemudian merasa bersalah lagi karena punya perasaan negatif itu. Di masa dewasa, mereka cenderung menjadi people pleaser yang kronis, selalu berusaha mati-matian untuk mendapatkan pengakuan dan validasi dari orang lain, karena itulah satu-satunya cara mereka merasa berharga. Kegagalan untuk “mengungguli” atau “menyamai” orang lain memicu rasa bersalah yang mendalam, seolah mereka mengecewakan seseorang, padahal target perbandingan itu bahkan tidak tahu mereka sedang diperbandingkan.

Baca Juga :  Bukan Salahmu, Ini Cara Melepaskan Rasa Bersalah dari Pasangan Narsistik

3. Orang Tua yang Emosionalnya Tidak Stabil atau Tidak Terduga

Beberapa anak tumbuh dengan orang tua yang reaksinya sulit ditebak. Kadang penuh kasih dan dukungan, di saat lain tiba-tiba marah besar karena hal kecil, menarik diri secara emosional, atau bahkan bersikap pasif-agresif. Pola asuh yang tidak konsisten ini menciptakan lingkungan yang tidak aman secara emosional bagi anak. Anak tidak tahu kapan “kemarahan” akan datang atau kapan “kasih sayang” akan ditarik.

Dalam upaya untuk menciptakan “keamanan” atau menghindari ledakan emosi orang tua, anak mulai percaya bahwa emosi dan perilaku orang tua adalah tanggung jawab mereka. Jika orang tua sedang sedih, anak merasa bersalah karena mungkin mereka penyebabnya. Jika orang tua marah, anak merasa bersalah karena mereka pasti melakukan sesuatu yang salah. Mereka belajar untuk “berjalan di atas kulit telur,” terus-menerus memantau suasana hati orang tua dan menyesuaikan perilaku mereka demi menjaga ketenangan. Rasa bersalah ini menempel hingga dewasa, membuat mereka merasa bertanggung jawab atas perasaan orang lain, sulit menetapkan batasan, dan sering merasa bersalah ketika orang lain tidak bahagia, bahkan jika itu sama sekali bukan urusan atau kesalahan mereka. Mereka mungkin merasa bersalah hanya karena ada, khawatir kehadiran mereka mengganggu atau menyusahkan orang lain.

Baca Juga :  10 Pekerjaan yang Bisa Menjadi Obat Menurut Psikologi

4. Pembatasan Emosi: “Jangan Cengeng!” atau “Tidak Boleh Marah!”

Anak-anak perlu belajar mengelola emosi mereka, tetapi ada perbedaan besar antara mengelola dan menekan emosi. Pola asuh yang melarang atau menghukum ekspresi emosi “negatif” seperti sedih, marah, takut, atau frustrasi, mengajarkan anak bahwa perasaan tertentu itu buruk atau salah. Kalimat-kalimat seperti “Anak laki-laki tidak boleh cengeng,” “Jangan marah-marah, tidak sopan,” atau “Kamu nggak perlu takut sama itu,” seolah menyiratkan bahwa emosi tersebut tidak valid dan seharusnya tidak dirasakan.

Ketika emosi terus-menerus dilarang atau divalidasi, anak belajar untuk menyembunyikannya atau menekan mereka. Mereka mulai merasa bersalah hanya karena memiliki emosi tersebut. Saat dewasa, mereka mungkin kesulitan mengidentifikasi atau mengungkapkan perasaan mereka sendiri. Mereka merasa bersalah ketika merasa sedih atau marah, percaya bahwa itu adalah tanda kelemahan atau ada sesuatu yang salah dengan diri mereka. Rasa bersalah ini bisa menyebabkan kecemasan, depresi, atau kesulitan dalam membangun hubungan intim karena mereka sulit berbagi diri mereka yang sebenarnya, termasuk kerentanan emosional. Mereka juga mungkin merasa bersalah saat orang lain mengekspresikan emosi kuat, karena mereka tidak tahu bagaimana meresponsnya.

Baca Juga :  5 Bukti Kamu Punya Self Confidence Kuat

Similar Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *