Saat Anak Dewasa Terlalu Mandiri, Orang Tua Jadi Tersisih? (www.freepik.com)
harmonikita.com – Pernahkah kamu mendengar atau merasakan sendiri, ketika anak dewasa mandiri mulai menata kehidupannya sendiri, ada perasaan campur aduk yang hadir? Di satu sisi bangga melihat mereka bisa berdiri di atas kaki sendiri, tapi di sisi lain, kadang muncul bisik-bisik di hati orang tua: “Kok rasanya jadi nggak dibutuhkan lagi, ya?” Pertanyaan “Apakah kemandirian anak dewasa bikin orang tua tersisih?” ini mungkin terdengar klasik, tapi nyatanya masih relevan dan sering jadi kegalauan tersendiri dalam dinamika keluarga modern.
Transisi dari merawat anak yang bergantung sepenuhnya pada kita, menjadi melihat mereka terbang bebas mengarungi dunia sendiri, memang bukan hal yang mudah. Perubahan ini datang dengan segala tantangannya, termasuk bagaimana orang tua dan anak dewasa bisa menemukan ‘ritme’ hubungan yang baru.
Mengapa Kemandirian Anak Terkadang Terasa Seperti Jarak?
Saat anak-anak masih kecil, peran orang tua itu sangat jelas: memberi makan, memandikan, mengantar sekolah, memastikan PR dikerjakan, mendengarkan cerita sebelum tidur. Rutinitas itu padat, penuh interaksi, dan membuat orang tua merasa punya tujuan yang sangat konkret dalam hidup sehari-hari. Kita adalah pusat dunianya (atau setidaknya, salah satu yang paling penting).
Nah, ketika anak beranjak dewasa, punya pekerjaan, pacar, teman-teman, hobi, dan mungkin tinggal terpisah, pusat dunianya mulai melebar. Mereka membuat keputusan sendiri, menyelesaikan masalah sendiri, bahkan mungkin punya pandangan hidup yang berbeda dari kita. Ini adalah tanda keberhasilan pengasuhan, lho! Berarti kita sudah membekali mereka dengan kemampuan untuk mandiri. Tapi, hilangnya rutinitas ‘dibutuhkan’ tadi, plus berkurangnya frekuensi interaksi harian, memang bisa menyisakan lubang kosong. Rasanya seperti peran kita tiba-tiba berkurang drastis, dari sutradara utama menjadi mungkin hanya penonton di barisan belakang.
Perasaan ini makin diperparah jika ekspektasi orang tua masih sama seperti saat anak masih remaja atau bahkan lebih muda. Mungkin kita masih ingin dilibatkan dalam setiap keputusan kecil, masih berharap mereka curhat setiap hari, atau masih ingin mengontrol beberapa hal. Ketika anak dewasa menetapkan batasan atau membuat pilihan yang tidak sesuai harapan, ini bisa diinterpretasikan sebagai penolakan atau indikasi bahwa mereka tidak lagi membutuhkan kita. Padahal, dari sisi anak, ini adalah bagian alami dari proses pencarian jati diri dan pembangunan kehidupan mereka sendiri.
Sudut Pandang Anak Dewasa: Mandiri Bukan Berarti Menjauh
Dari kacamata anak dewasa, proses kemandirian itu bukan tentang ‘menyingkirkan’ orang tua. Ini lebih tentang ‘menemukan’ diri sendiri dan membangun fondasi untuk masa depan. Mereka sedang sibuk menavigasi dunia kerja yang kompetitif, membangun hubungan romantis yang serius, belajar mengelola keuangan, atau sekadar mencoba hidup sendiri untuk pertama kalinya. Semua ini butuh energi, fokus, dan terkadang, ruang untuk membuat kesalahan dan belajar darinya tanpa ‘pengawasan’ konstan.
Menciptakan batasan pribadi (boundaries) juga jadi hal penting bagi anak dewasa. Batasan ini bukan tembok yang dibangun untuk menghalangi orang tua, melainkan garis yang dibuat untuk mendefinisikan ruang pribadi, waktu, dan identitas mereka sebagai individu yang terpisah. Mungkin mereka tidak lagi bisa menerima telepon setiap saat, tidak bisa selalu datang ke acara keluarga, atau punya cara sendiri dalam mengatur rumah tangga mereka. Ini bukan karena mereka tidak sayang, tapi karena mereka sedang berusaha menyeimbangkan tanggung jawab baru mereka dengan kebutuhan pribadi.
Bagi anak dewasa, mengetahui bahwa orang tua ada di sana sebagai support system (bukan controller) itu sangat berharga. Mereka mungkin tidak meminta bantuan se-intens dulu, tapi kehadiran dan restu orang tua tetap jadi jangkar emosional yang penting. Justru dengan kemandiriannya, anak dewasa belajar menghargai nilai dukungan orang tua dari sudut pandang yang berbeda. Mereka melihat orang tua bukan lagi sebagai ‘penyedia’ kebutuhan dasar, melainkan sebagai teman berbagi, penasihat bijak (jika diminta), dan sumber cinta tanpa syarat.
Evolusi Hubungan: Dari Ketergantungan ke Kemitraan
Hubungan orang tua dan anak itu dinamis, terus berubah seiring waktu. Saat anak dewasa, hubungan ini bertransformasi dari model vertikal (orang tua di atas, anak di bawah, penuh ketergantungan) menjadi lebih horizontal, setara, atau bisa dibilang kemitraan. Keduanya adalah individu dewasa yang saling menghormati, meski dengan peran yang berbeda.
Orang tua perlu ‘menggeser’ peran mereka. Bukan lagi sebagai manajer proyek kehidupan anak, tapi lebih sebagai konsultan, mentor, atau bahkan teman. Ini menuntut penyesuaian besar. Orang tua perlu belajar melepaskan kendali, memberi ruang bagi anak untuk membuat keputusan (termasuk yang salah, karena itu bagian dari belajar), dan percaya pada bekal yang sudah diberikan selama bertahun-tahun.
Di sisi lain, anak dewasa juga punya tanggung jawab untuk tetap menjaga komunikasi dan menunjukkan apresiasi. Kemandirian bukan alasan untuk menghilang sepenuhnya. Menemukan cara baru untuk terhubung, seperti panggilan video rutin, berbagi cerita tentang hari mereka tanpa harus diminta detailnya, atau sekadar mengirim pesan sesekali, bisa membuat orang tua merasa tetap menjadi bagian penting dari hidup mereka.
Menjaga Jembatan Komunikasi di Fase Baru
Kunci utama agar orang tua tidak merasa tersisih dan anak dewasa tetap merasa terhubung adalah komunikasi yang terbuka dan jujur. Ini mungkin butuh usaha dari kedua belah pihak.
Untuk Orang Tua:
- Ungkapkan Perasaanmu dengan Tenang: Jika merasa rindu atau khawatir, sampaikanlah dengan jujur tapi tanpa menuduh. Misalnya, “Mama/Papa kangen deh ngobrol sama kamu,” bukan “Kamu sekarang sibuk banget ya, sampai lupa orang tua.”
- Hargai Batasan Mereka: Tanyakan dulu kapan waktu yang tepat untuk menelepon atau berkunjung. Jika mereka bilang sedang sibuk, hargai itu dan cari waktu lain.
- Temukan Minat Baru: Alihkan energi dan perhatian yang tadinya terfokus pada anak ke hal lain. Hobi, komunitas, teman, atau bahkan kembali bekerja (jika memungkinkan). Ini membantumu tetap aktif dan punya kehidupan sendiri.
- Definisikan Ulang Peranmu: Sadari bahwa peranmu kini adalah pendukung, bukan pengontrol. Tawari bantuan (finansial, saran, tenaga) jika mereka butuhkan, tapi jangan memaksakan.
- Rayakan Kemandirian Mereka: Tunjukkan kebanggaanmu pada pencapaian mereka. Ini menguatkan bahwa kamu mendukung proses mereka tumbuh.
Untuk Anak Dewasa:
- Jadwalkan Waktu Bersama: Di tengah kesibukan, usahakan menyisihkan waktu spesifik untuk orang tua, meskipun hanya panggilan singkat atau makan malam sebulan sekali. Konsistensi lebih penting dari durasi yang lama tapi jarang.
- Bagikan Sedikit Cerita: Tidak perlu semua detail hidupmu, tapi berbagi cerita ringan tentang hari-harimu bisa membuat orang tua merasa tetap ‘kenal’ dengan kehidupanmu saat ini.
- Jelaskan Batasanmu dengan Sopan: Jika kamu butuh ruang atau tidak setuju dengan sesuatu, sampaikan dengan jelas dan sopan, bukan menghindar atau marah. Jelaskan mengapa kamu butuh batasan itu (misalnya, “Aku butuh waktu sendiri untuk istirahat setelah bekerja,” atau “Aku ingin belajar mengelola keuanganku sendiri”).
- Libatkan Mereka di Momen Penting (Jika Memungkinkan): Undang mereka ke acara wisudamu (jika belum), perayaan kecil di rumah barumu, atau sekadar memperkenalkan teman dekat atau pasanganmu.
- Ucapkan Terima Kasih: Mengakui dan berterima kasih atas semua yang telah mereka lakukan bisa sangat berarti.
Bukan Akhir Peran, Tapi Transformasi Indah
Jadi, apakah kemandirian anak dewasa bikin orang tua tersisih? Jawabannya tidak harus begitu. Ini adalah fase alami dalam kehidupan, baik bagi anak maupun orang tua. Perasaan ‘tersisih’ itu valid, tapi itu lebih mencerminkan penyesuaian yang sedang terjadi, bukan penolakan dari anak.
Hubungan orang tua dan anak dewasa bisa menjadi salah satu ikatan yang paling kaya dan bermakna, justru karena sudah melewati fase ketergantungan dan masuk ke fase saling menghormati sebagai individu. Orang tua tetap punya peran penting: sebagai tempat pulang (bukan hanya fisik, tapi juga emosional), sebagai sumber kebijaksanaan yang tulus, dan sebagai penjaga akar keluarga.
Memang butuh usaha dan adaptasi dari kedua belah pihak untuk menavigasi perairan baru ini. Tapi dengan komunikasi yang jujur, pengertian terhadap perubahan peran, dan keinginan untuk terus terhubung, hubungan itu tidak akan memudar, melainkan bertransformasi menjadi sesuatu yang lebih dalam, matang, dan indah. Ini bukan akhir dari peranmu sebagai orang tua atau akhir dari ikatan kalian, melainkan awal dari babak baru yang sama pentingnya.
