Sering Melakukan 7 Kebiasaan Ini? Bisa Bikin Anak Menjauh!

Sering Melakukan 7 Kebiasaan Ini? Bisa Bikin Anak Menjauh! (www.freepik.com)

harmonikita.com- Siapa sih yang nggak mau punya hubungan orang tua dan anak yang dekat, hangat, dan penuh percaya? Semua orang tua pasti menginginkan ikatan yang kuat dengan buah hati mereka. Kita berinvestasi waktu, tenaga, dan cinta demi memastikan mereka tumbuh bahagia dan merasa dicintai. Tapi, sadarkah kita, kadang ada kebiasaan bikin anak jauh yang diam-diam kita lakukan tanpa niat? Kebiasaan-kebiasaan kecil yang mungkin terlihat sepele, tapi perlahan bisa membangun jarak emosional yang tak terlihat.

Dunia parenting modern penuh tantangan. Tekanan pekerjaan, tuntutan sosial, dan arus informasi yang deras seringkali membuat kita terjebak dalam kesibukan yang tiada henti. Di tengah hiruk pikuk itu, kualitas interaksi dengan anak kadang jadi nomor sekian. Ironisnya, justru di momen-momen kecil itulah fondasi hubungan dibentuk, atau malah terkikis. Mari kita lihat, adakah di antara 7 kebiasaan bikin anak jauh ini yang tanpa sadar kita lakukan? Jangan khawatir, mengenali masalah adalah langkah pertama menuju solusi!

Asyik Sendiri dengan Gadget Saat Bersama Anak

Di era digital ini, rasanya mustahil lepas dari gadget. Kita memakainya untuk bekerja, berkomunikasi, mencari informasi, bahkan sekadar hiburan pelepas penat. Tapi, perhatikanlah: seberapa sering kita terlalu asyik dengan layar di tangan saat anak sedang berbicara, bermain, atau sekadar berada di dekat kita? Mungkin kita ada di ruangan yang sama, tapi pikiran dan perhatian kita sepenuhnya tertuju pada notifikasi atau scroll media sosial.

Bayangkan dari sudut pandang anak. Mereka datang menghampiri dengan wajah penuh cerita tentang hari mereka di sekolah, atau ingin menunjukkan gambar yang baru mereka buat. Tapi mata kita tetap terpaku pada layar, respons kita singkat, bahkan kadang diselingi desahan karena merasa terganggu. Bagi anak, ini bisa jadi pesan yang kuat: “Mama/Papa lebih penting urusan di HP daripada aku.”

Studi tentang interaksi keluarga dan penggunaan gadget sering menyoroti dampak negatifnya terhadap kualitas komunikasi. Ketika orang tua terus-menerus terganggu oleh ponsel, anak bisa merasa tidak dihargai, tidak penting, dan akhirnya enggan berbagi lagi. Mereka mungkin mulai mencari perhatian di tempat lain atau menarik diri sama sekali. Kehadiran fisik tanpa kehadiran emosional karena terdistraksi gadget adalah salah satu kebiasaan bikin anak jauh yang paling umum di era ini.

Jarang Mendengar Sungguh-sungguh Saat Anak Berbicara

Mendengar dan mendengarkan adalah dua hal berbeda. Kita mungkin ‘mendengar’ suara anak sepanjang hari – rengekan, teriakan saat bermain, ocehan tentang teman-temannya. Tapi, seberapa sering kita benar-benar ‘mendengarkan’ apa yang mereka katakan, bagaimana perasaan mereka, dan mengapa itu penting bagi mereka?

Kebiasaan menyela, memberikan solusi instan tanpa memahami masalahnya, atau bahkan mengabaikan cerita mereka karena dianggap ‘tidak penting’ adalah bentuk dari kurangnya mendengarkan sungguh-sungguh. Anak mungkin sedang mencoba mengungkapkan ketakutan, kebingungan, atau kegembiraan yang luar biasa, namun respons kita hanya “Ya, ya, nanti saja ya,” atau “Sudah, jangan cengeng!”

Psikolog anak dan keluarga seringkali menekankan bahwa validasi perasaan adalah kunci dalam membangun hubungan. Ketika anak merasa perkataannya didengar, dipahami, dan perasaannya divalidasi, mereka belajar bahwa mereka berharga dan aman untuk berbagi. Sebaliknya, jika mereka terbiasa merasa diabaikan saat berbicara, mereka akan berhenti mencoba. Ini bukan hanya soal cerita sehari-hari, tapi juga tentang masalah yang lebih besar di masa depan. Jika mereka tidak merasa aman berbicara tentang hal-hal kecil sekarang, bagaimana mereka akan merasa aman berbicara tentang masalah remaja atau dewasa nanti? Kebiasaan bikin anak jauh ini merusak kepercayaan dan membuka ruang untuk kesalahpahaman.

Lebih Banyak Mengkritik daripada Mengapresiasi Usaha Anak

Orang tua tentu punya harapan untuk anak-anaknya. Kita ingin mereka berhasil, disiplin, dan berkembang. Namun, kadang niat baik untuk mendidik ini tersampaikan dalam bentuk kritik yang berlebihan dan kurangnya apresiasi. “Kenapa cuma dapat nilai segini? Temanmu si A dapat lebih bagus!” “Rapikan kamarmu! Berantakan sekali seperti kapal pecah!” “Kok gitu saja tidak bisa?”

Fokus yang berlebihan pada kekurangan dan kesalahan, tanpa mengimbangi dengan pujian atas usaha, kemajuan, atau bahkan sekadar kehadiran mereka, bisa meruntuhkan kepercayaan diri anak. Mereka mungkin merasa tidak pernah cukup baik di mata orang tua, terus-menerus dihakimi, dan takut mencoba hal baru karena khawatir melakukan kesalahan lagi.

Penelitian tentang pola komunikasi dalam keluarga secara konsisten menunjukkan bahwa rasio interaksi positif-negatif sangat memengaruhi dinamika hubungan dan self-esteem individu, terutama pada anak-anak. Lingkungan yang penuh kritik bisa membuat anak merasa tertekan, cemas, dan akhirnya memilih untuk menarik diri. Mereka mungkin menghindari interaksi, menyembunyikan kegagalan, atau bahkan keberhasilan mereka, hanya untuk menghindari komentar negatif. Ini adalah kebiasaan bikin anak jauh yang melukai harga diri mereka secara perlahan.

Mengabaikan Privasi dan Batasan Anak Seiring Pertumbuhannya

Seiring anak beranjak remaja dan dewasa muda, kebutuhan mereka akan ruang pribadi dan batasan mulai berkembang. Ini adalah bagian alami dari proses pembentukan identitas dan kemandirian. Namun, beberapa orang tua kesulitan melepaskan kendali dan menghargai privasi anak.

Kebiasaan membaca buku harian mereka, memeriksa ponsel mereka tanpa izin (kecuali dalam kasus darurat yang jelas terkait keselamatan), menginterogasi setiap detail pergaulan mereka, atau masuk kamar tanpa mengetuk adalah contoh pelanggaran batasan. Tentu, pengawasan tetap penting, tetapi cara melakukannya yang perlu disesuaikan dengan usia.

Ketika privasi mereka terus-menerus dilanggar, anak bisa merasa tidak dipercaya, marah, dan merasa ruang pribadi mereka tidak dihormati. Mereka mungkin mulai menyembunyikan sesuatu, berbohong, atau membangun ‘tembok’ untuk melindungi diri dari campur tangan yang berlebihan. Menghargai privasi anak (sesuai usia dan situasi) adalah cara menunjukkan rasa percaya, yang pada gilirannya akan memupuk kepercayaan mereka pada kita. Mengabaikan batasan ini adalah kebiasaan bikin anak jauh yang merusak fondasi kepercayaan.

Tidak Ada Waktu Berkualitas yang Didedikasikan Khusus untuk Anak

Di tengah kesibukan, mudah sekali berpikir, “Kan kita sudah sering bersama di rumah.” Ya, secara fisik mungkin benar. Tapi, apakah kebersamaan itu berkualitas? Apakah ada waktu yang benar-benar kita dedikasikan hanya untuk anak, tanpa gangguan pekerjaan, gadget, atau urusan rumah tangga lainnya?

Waktu berkualitas bukan hanya sekadar berada di ruangan yang sama. Ini tentang interaksi yang terfokus dan bermakna. Bermain bersama di lantai, membaca buku sebelum tidur, mengobrol santai di meja makan tanpa terburu-buru, pergi ke taman, atau sekadar mendengarkan mereka bercerita sambil menatap mata mereka.

Data dari berbagai survei keluarga sering menyoroti ‘waktu berkualitas’ sebagai salah satu faktor kunci dalam membangun ikatan yang kuat dan komunikasi yang terbuka. Ketika waktu berkualitas ini langka atau bahkan tidak ada sama sekali, anak bisa merasa kurang penting dalam prioritas orang tua. Mereka mungkin merasa keberadaan mereka diambil begitu saja, dan tidak ada ruang khusus bagi mereka dalam jadwal sibuk orang tua. Kurangnya waktu berkualitas adalah kebiasaan bikin anak jauh yang paling mudah terabaikan tapi dampaknya signifikan.

Terlalu Mengontrol Tanpa Memberi Ruang Anak untuk Mandiri

Naluri orang tua adalah melindungi anak dari bahaya dan memastikan mereka membuat pilihan yang tepat. Namun, dorongan ini kadang berubah menjadi perilaku terlalu mengontrol, di mana orang tua berusaha mendikte setiap aspek kehidupan anak, dari pilihan teman, hobi, hingga cara mereka menyelesaikan tugas sekolah.

Memberi anak ruang untuk mengambil keputusan (sesuai usia dan kemampuannya), mencoba hal baru, bahkan membuat kesalahan dan belajar darinya adalah bagian penting dari perkembangan kemandirian, kepercayaan diri, dan kemampuan problem solving. Ketika anak terus-menerus dikontrol dan tidak diberi ruang untuk ‘bernafas’ dan bereksperimen, mereka bisa menjadi cemas, ragu-ragu, atau memberontak.

Mereka mungkin juga kehilangan motivasi internal, karena merasa semua yang mereka lakukan hanyalah untuk memenuhi ekspektasi orang tua, bukan karena keinginan atau minat mereka sendiri. Memberi ruang, di sisi lain, menunjukkan bahwa kita percaya pada kemampuan mereka untuk belajar dan tumbuh. Kontrol yang berlebihan adalah kebiasaan bikin anak jauh yang menghambat kemandirian mereka.

Hadir Fisik Tapi Tidak Hadir Emosional untuk Anak

Poin terakhir ini mungkin yang paling halus, tapi dampaknya sangat dalam. Seseorang bisa saja secara fisik ada di rumah, duduk di sofa yang sama, atau bahkan makan semeja, namun pikiran dan perasaan mereka entah di mana. Stres pekerjaan, masalah pribadi, kelelahan, atau sekadar burnout bisa membuat orang tua hadir secara fisik tapi absen secara emosional.

Anak-anak, bahkan yang masih kecil, sangat peka terhadap energi dan suasana hati orang tua. Mereka bisa merasakan ketika orang tua sedang ‘tidak ada’ – tatapan mata kosong, respons otomatis tanpa emosi, atau suasana hati yang mudah berubah karena beban pikiran. Meskipun tidak ada kata-kata kasar atau kritik, ketidakhadiran emosional ini bisa membuat anak merasa sendirian, bingung, dan tidak mendapatkan dukungan emosional yang mereka butuhkan.

Kehadiran emosional berarti sepenuhnya hadir dan terlibat saat bersama anak, mampu merasakan dan merespons emosi mereka, serta menunjukkan empati. Ketika orang tua tidak hadir secara emosional, anak mungkin merasa tidak aman untuk mengungkapkan perasaan mereka sendiri, karena merasa tidak akan ada yang benar-benar mendengarkan atau mempedulikan. Ini adalah kebiasaan bikin anak jauh yang menciptakan kekosongan dalam hubungan yang seharusnya penuh kehangatan.

Bukan Soal Sempurna, Tapi Soal Kesadaran dan Perubahan

Membaca tujuh poin di atas mungkin terasa… berat? Mungkin ada satu atau dua poin yang terasa familiar, bahkan bikin kita meringis. Tenang, ini bukan soal menunjuk kesalahan dan membuat kita merasa jadi orang tua yang buruk. Sama sekali bukan! Ini tentang menyadari bahwa kita semua manusia, punya kekurangan, dan bisa saja terjebak dalam pola tanpa sengaja.

Yang terpenting adalah kesadaran. Menyadari bahwa kebiasaan-kebiasaan kecil ini, meskipun tidak disengaja, bisa memiliki dampak jangka panjang pada kedekatan kita dengan anak. Hubungan yang renggang atau anak yang ‘jauh’ secara emosional bukanlah takdir, melainkan seringkali merupakan hasil kumulatif dari interaksi sehari-hari.

Langkah selanjutnya setelah menyadari adalah kemauan untuk berubah. Tidak perlu drastis, mulailah dari satu kebiasaan saja. Mungkin kurangi waktu gadget saat bersama anak di sore hari, atau coba luangkan 15-20 menit setiap hari untuk benar-benar mendengarkan cerita mereka tanpa interupsi. Ajak mereka bicara tentang apa yang mereka butuhkan dari Anda sebagai orang tua. Terkadang, jawaban terbaik datang langsung dari mereka.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *