Ternyata ‘Ngikut Aja’ Bisa Jadi Toksik! (www.freepik.com)
harmonikita.com – Siapa sih yang nggak pernah merasa paling aman kalau ngikut aja? Di tengah ajakan teman, tren di media sosial, atau ekspektasi keluarga, memilih untuk tidak banyak bicara dan ngikut aja seringkali terasa sebagai jalan termudah. Kelihatannya damai, minim konflik, dan bikin kita merasa ‘punya’ tempat dalam kelompok. Tapi, tahukah kamu? Kebiasaan “ngikut aja” ini, jika dilakukan terus-menerus dan tanpa sadar, ternyata bisa jadi toxic lho, baik buat diri sendiri maupun hubungan dengan orang lain.
Memilih “ngikut aja” mungkin dimulai dari hal-hal kecil: setuju makan di tempat yang kamu nggak suka, ikut nonton film yang sebenarnya nggak minat, atau mengiyakan rencana hangout padahal badan sudah capek banget. Lama-lama, kebiasaan ini bisa merembet ke keputusan-keputusan yang lebih besar dalam hidup, tanpa kita sadari bahwa kita perlahan kehilangan kendali atas pilihan-pilihan kita sendiri. Artikel ini akan mengupas kenapa “ngikut aja” nggak seindah kelihatannya dan bagaimana dampaknya bisa merusak.
Kenapa Kita Cenderung “Ngikut Aja”?
Ada banyak alasan kenapa seseorang merasa lebih nyaman untuk “ngikut aja” daripada menyatakan pendapat atau keinginannya. Ini bukan melulu soal nggak punya pendirian, tapi seringkali berakar dari hal-hal yang lebih dalam.
Zona Nyaman dan Menghindari Konflik
Salah satu alasan paling umum adalah kenyamanan dan ketakutan akan konflik. Menyatakan pendapat yang berbeda bisa memicu perdebatan, penolakan, atau bahkan dijauhi. Bagi banyak orang, rasa tidak nyaman akibat konflik lebih menakutkan daripada mengabaikan keinginan diri sendiri. Jadi, “ngikut aja” adalah jalan pintas menuju ketenangan—palsu—sementara.
Keinginan untuk Diterima (People Pleaser)
Secara naluriah, manusia ingin merasa menjadi bagian dari kelompok. Mengikuti arus adalah cara tercepat untuk mendapatkan validasi dan penerimaan. Kita berpikir, “kalau aku setuju dengan mereka, mereka pasti suka sama aku.” Kebiasaan ini bisa berkembang menjadi people pleaser, yaitu orang yang terlalu fokus menyenangkan orang lain sampai lupa menyenangkan diri sendiri.
Kurang Percaya Diri dan Takut Salah
Rasa tidak percaya diri juga memainkan peran besar. Kita mungkin merasa bahwa pendapat atau pilihan kita tidak sepenting, sevalid, atau sekeren pilihan orang lain. Ada ketakutan mendasar untuk membuat keputusan yang “salah” di mata orang lain, sehingga lebih baik menyerahkan kemudi kepada mereka.
Kemudahan dan Kemalasan
Jujur saja, berpikir kritis, mempertimbangkan pilihan, dan menyampaikan preferensi itu butuh usaha. “Ngikut aja” itu gampang. Tidak perlu pusing memikirkan pro-kontra, tidak perlu menjelaskan alasan, tinggal ‘ya udah’. Kemudahan sesaat inilah yang sering menjebak kita dalam kebiasaan pasif ini.
Dampak Tersembunyi: Ketika “Ngikut Aja” Berubah Jadi Toksik
Memilih “ngikut aja” sesekali untuk menjaga keharmonisan dalam situasi yang tidak penting tentu wajar. Tapi, ketika ini menjadi pola default dalam setiap aspek kehidupan, di sinilah sifat “toxic” itu muncul. Dampaknya bisa sangat merusak, seringkali tanpa disadari sampai masalahnya menumpuk.
Kehilangan Identitas Diri
Ini mungkin dampak paling signifikan. Ketika kamu terus-menerus mengabaikan keinginan, pendapat, dan kebutuhanmu demi mengikuti orang lain, perlahan tapi pasti kamu akan kehilangan koneksi dengan dirimu yang sebenarnya. Kamu jadi tidak tahu apa yang benar-benar kamu suka atau tidak suka, apa yang benar-benar penting bagimu. Ibarat kompas batin, ia perlahan kehilangan arah.
Menumpuknya Rasa Kecewa dan Dendam
Setiap kali kamu “ngikut aja” melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak kamu inginkan, ada sedikit rasa tidak ikhlas yang menumpuk. Awalnya mungkin kecil, tapi seiring waktu, tumpukan kekecewaan ini bisa berubah menjadi rasa jengkel, bahkan dendam, terhadap orang-orang yang kamu ikuti, atau yang lebih buruk, terhadap diri sendiri karena tidak berani bersikap. Ini bisa meracuni hubungan yang seharusnya sehat.
Keputusan yang Merugikan Diri Sendiri
Dalam skenario yang lebih serius, kebiasaan “ngikut aja” bisa membuatmu terjebak dalam situasi atau keputusan yang merugikan. Misalnya, memilih jurusan kuliah hanya karena teman-teman memilih itu, mengambil pekerjaan yang tidak sesuai passion karena desakan lingkungan, atau bahkan terjebak dalam hubungan yang tidak sehat karena tidak berani menolak.
Menghambat Pertumbuhan Pribadi
Proses pertumbuhan diri seringkali melibatkan tantangan, pengambilan risiko, dan pembentukan opini independen. Jika kamu selalu “ngikut aja”, kamu akan melewatkan kesempatan emas untuk belajar dari kesalahan, mengembangkan skill mengambil keputusan, dan membentuk pandangan dunia yang unik milikmu. Pikiranmu jadi kurang terasah karena tidak pernah dihadapkan pada perbedaan atau keharusan untuk berpikir mandiri.
Hubungan yang Dangkal
Paradoksnya, niat untuk menjaga hubungan dengan “ngikut aja” justru bisa membuat hubungan itu dangkal. Bagaimana bisa terjalin koneksi yang tulus jika kamu tidak pernah menunjukkan dirimu yang asli? Orang lain mungkin hanya mengenal “kamu yang selalu setuju”, bukan “kamu yang memiliki pikiran dan perasaan unik”. Hubungan yang kuat dibangun di atas kejujuran dan penerimaan terhadap perbedaan, bukan keseragaman palsu.
Meningkatnya Stres dan Kecemasan
Berusaha keras untuk selalu cocok dengan orang lain itu melelahkan. Kamu terus-menerus memakai “topeng” dan khawatir jika sewaktu-waktu topeng itu terlepas. Ketakutan akan penolakan, kecemasan sosial, dan rasa tidak autentik ini bisa memicu stres dan berdampak buruk pada kesehatan mental.
Mengenali Tanda-Tanda Kamu Terjebak dalam Pola “Ngikut Aja” yang Toksik
Mungkin kamu mulai bertanya-tanya, “jangan-jangan aku termasuk yang begini?” Tidak apa-apa, kesadaran adalah langkah pertama. Coba renungkan beberapa tanda berikut:
- Kamu sering merasa lelah atau kesal setelah menghabiskan waktu dengan orang lain, padahal kamu “baik-baik saja” selama bersosialisasi.
- Kamu sulit sekali membuat keputusan, bahkan untuk hal-hal kecil seperti memilih menu makanan atau pakaian.
- Kamu sering mengubah pendapat atau preferensimu tergantung dengan siapa kamu bicara.
- Kamu punya kesulitan besar untuk mengatakan “tidak” pada permintaan atau ajakan yang sebenarnya tidak ingin kamu lakukan.
- Kamu merasa hidupmu lebih banyak diarahkan oleh orang lain daripada oleh dirimu sendiri.
- Kamu merasa tidak yakin dengan apa yang sebenarnya kamu inginkan atau butuhkan.
- Kamu sering pura-pura menyukai sesuatu hanya agar cocok dengan kelompokmu.
Jika beberapa poin di atas terasa relate, ada kemungkinan kamu sedang terjebak dalam pola “ngikut aja” yang toksik.
Memutus Rantai Toksik: Langkah Menuju Diri yang Lebih Autentik
Untungnya, kabar baiknya adalah pola ini bisa diubah. Memang tidak instan dan butuh keberanian, tapi hasilnya akan sangat berharga: hidup yang lebih bermakna, hubungan yang lebih tulus, dan rasa percaya diri yang solid.
Mulai dengan Mengenali Diri Sendiri
Luangkan waktu untuk introspeksi. Apa yang sebenarnya kamu suka? Lalu apa yang kamu tidak suka? Apa nilai-nilai yang penting bagimu? Apa tujuanmu? Menulis jurnal, meditasi, atau sekadar menghabiskan waktu sendirian bisa membantu proses ini. Semakin kamu mengenal dirimu, semakin mudah untuk menyatakan dirimu.
Berlatih Mengatakan “Tidak” untuk Hal Kecil
Tidak perlu langsung menolak ajakan bos atau undangan penting. Mulai dari hal-hal kecil. Tolak tawaran makanan yang tidak kamu inginkan dengan sopan. Tolak ajakan teman ke tempat yang benar-benar tidak kamu suka. Rasakan bahwa dunia tidak kiamat hanya karena kamu bilang “tidak”. Ini adalah skill yang perlu dilatih.
Tentukan Batas Diri (Boundaries)
Sama pentingnya dengan berkata “tidak” adalah menetapkan batasan yang jelas dalam hubunganmu. Apa yang bisa kamu toleransi dan apa yang tidak? Batasan ini akan membantumu melindungi energi dan kesejahteraanmu. Komunikasikan batasanmu dengan jelas dan sopan.
Belajar Menyampaikan Pendapat dengan Asertif
Asertif berbeda dengan agresif. Bersikap asertif berarti menyampaikan pikiran, perasaan, atau keinginanmu dengan jujur dan langsung, tanpa merendahkan orang lain. Kamu berhak punya pendapat, dan orang lain berhak mendengarnya, bahkan jika berbeda. Latih cara menyampaikan “Saya merasa…” atau “Menurut saya…”
Terima Ketidaknyamanan
Mengubah kebiasaan “ngikut aja” pasti akan terasa tidak nyaman di awal. Mungkin ada teman yang kaget, mungkin ada momen canggung. Tapi percayalah, rasa tidak nyaman ini hanyalah sinyal bahwa kamu sedang tumbuh dan melangkah keluar dari zona nyaman yang membelenggu. Teruslah melangkah.
Cari Lingkungan yang Mendukung
Kelilingi dirimu dengan orang-orang yang menghargai dirimu apa adanya, bukan hanya ketika kamu setuju dengan mereka. Lingkungan yang suportif akan memberimu keberanian untuk menjadi diri sendiri. Jika perlu, jangan ragu mencari bantuan profesional seperti terapis atau konselor yang bisa memandumu dalam proses ini.
Kekuatan Menjadi Diri yang Autentik
Melepaskan kebiasaan “ngikut aja” yang toksik dan berani menjadi diri sendiri adalah salah satu investasi terbaik yang bisa kamu lakukan untuk hidupmu. Ini bukan berarti kamu harus selalu berbeda atau menolak semua ajakan. Bukan. Ini tentang memiliki kesadaran untuk memilih berdasarkan apa yang benar-benar kamu inginkan dan butuhkan, bukan hanya mengikuti arus.
Ketika kamu autentik, hubunganmu akan lebih dalam dan bermakna karena didasari kejujuran. Kamu akan membuat keputusan yang lebih baik untuk dirimu sendiri. Kamu akan merasa lebih damai dan percaya diri. Dan yang terpenting, kamu akan menjalani hidup yang benar-benar milikmu, bukan sekadar salinan dari orang lain.
